Cerpen Mustafa Ismail
IBU selalu membuat timphan ketika Bapak kangen kampung. Itu penganan khas dari daerah kami, Aceh. Biasanya timphan itu dibikin pada hari lebaran, Idul Fitri maupun Idul Adha. Tak lengkap sebuah rumah menghadapi lebaran tanpa timphan.
Bahan dasarnya adalah tepung beras, yang ditumbuk sendiri dengan jeungki (ini alat penumbuk padi/tepung khas kampung kami), diberi isi, dibalut dengan daun pisang muda mirip balutan otak-otak tapi lebih pendek dan agak lebar, lalu dikukus menggunakan sangku, tempat kukus yang terbuat dari tanah liat.
Orang-orang tidak pernah memakai tepung yang ditumbuk pakai mesin, apalagi buatan pabrik, karena timphannya kurang enak. Kecuali sangat terpaksa, misalnya musim hujan, sehingga orang tidak bisa keluar rumah untuk menumbuk padi di jeungki, yang memang hanya tersedia di rumah-rumah tertentu.
Lebaran lalu, ibu sempat membuat timphan, tapi tidak banyak, hanya sekitar 50 potong. Timphan itu buat penganan untuk dihidangkan kepada tamu-tamu yang datang berlebaran ke tempat Ibu, baik tamu dari daerah kami sendiri, maupun tamu-tamu lain. Setiap lebaran, selalu banyak tamu bertandang ke tempat Ibu. Mereka menganggap ibu sebagai orang tua.
Bukan saja lebaran, pada hari-hari biasa, mereka sering bertandang ke tempat ibu. Ibu juga mereka jadikan tempat berkeluh kesah tentang segala hal. Makanya, ibu sendiri sudah menganggap mereka sebagai bagian dari keluarga, meski semua mereka baru dikenalnya ketika sudah berada di Jakarta empat tahun lalu.
IBU dan Bapak pindah ke Jakarta sehabis lebaran Idul Fitri tujuh tahun lalu, karena sudah merasa tidak nyaman di kampung akibat konflik tak berkesudahan. Bapak dan Ibu pergi diam-diam dari rumah, tidak seorang pun yang tahu, termasuk para tetangga. Hanya lingkaran keluarga terdekat yang tahu.
Bapak dan Ibu pergi tengah malam ke jalan besar untuk menyetop bus yang berangkat dari Banda Aceh menuju Medan. Dari Medan, mereka menumpang bus PMTOH ke Jakarta, menempuh perjalanan darat sekitar dua hari-dua malam. Tidak ada banyak uang yang mereka bawa. Semua uang Bapak, berjumlah Rp 8 juta hasil menjual sepeda motor, telah dikirim sebelumnya ke rekeningku.
Sepeda motor itulah pangkal soal sebetulnya. Adikku, Maneh, yang kuliah di Banda Aceh, menulis cerita itu dalam satu suratnya: “Pada satu sore, datang seseorang ingin meminjamkan sepeda motor itu. Bapak tidak memberi, karena memang Bapak tidak mengenal orang itu. Orang itu lalu pulang. Tak lama, orang itu datang lagi bersama tiga orang temannya, dan memaksa meminjamkan motor itu.”
“Bapak berkeras tidak meminjamkan. Di samping tidak mengenal mereka, esoknya Bapak juga ada keperluan untuk mengunjungi seorang famili yang sakit di Sigli. Lalu, salah seorang di antara mengeluarkan pistol dari balik bajunya dan dipukulkan ke Bapak. Bapak sempat terjengkang, lalu lemas. Sepeda motor pun kemudian dibawa.”
”Sepeda motor itu dipulangkan seminggu kemudian pada satu tengah malam dan diletakkan begitu saja di halaman. Bapak dan ibu tahu ketika mereka datang, karena brisik, namun tidak berani keluar. Meski tidak sedang diberlakukan jam malam, keluar malam tetap berbahaya dan punya risiko tak terkira.”
”Tak kurang sebulan Bapak sakit habis diketok dengan pistol itu. Setelah itu, Bapak tidak lagi keluar rumah. Lalu, Ibu mengusulkan agar sepeda motor itu dijual dan Bapak dan Ibu pindah ke Jakarta. Bapak setuju. Setelah menjual motor, Bapak langsung mengirimkan uangnya ke rekening Abang.”
Itulah awal Bapak dan Ibu meninggalkan kampung. Sebelumnya, sangat susah meminta mereka tinggal bersama kami di Jakarta. Bahkan, ketika datang pun, Bapak dan Ibu tak pernah lebih dari dua minggu berada di tempat kami. Ada saja alasan mereka. Tidak bisa meninggalkan rumah dalam kosong berlama-lama, harus menjenguk adik yang kuliah di Banda Aceh, dan sebagainya.
Dulu, sebelum pensiun – Bapak adalah seorang pegawai negeri di kantor Kecamatan – alasan utamanya tidak bisa berlama-lama di tempat kami karena Bapak kerja. Itu masuk akal memang.
KETIKA datang, Ibu dan Bapak tidak mau tinggal bersama kami, tapi mengontrak sebuah rumah di lingkungan komunitas orang-orang dari Aceh yang mengadu nasib di kota ini. “Biar suasananya seperti di kampung sendiri,” begitu alasan Ibu. Aku pun tidak keberatan pada keinginan Ibu.
Karena Ibu paling tua di antara para perantau itu, jadilah Ibu didaulat sebagai orang tua. Ibu senang-senang saja. Bahkan, Ibu makin merasa seperti di kampung sendiri. Beda dengan Bapak, yang kerap merasa gelisah. Bapak selalu ingat rumah beserta isinya yang dititipkan kepada tetangga untuk ditinggali, ingat kebun mangga tidak ada yang mengurus, juga ingat adik di Banda Aceh.
Bapak juga ingat makam abusyik dan misyik, ayah dan ibunya, yang mungkin tidak ada lagi yang membersihkan secara rutin setelah ia pindah ke Jakarta. Tiap tiga bulan sekali, Bapak selalu datang ke pusara mereka untuk membersihkan rumput, sekaligus mengirim doa-doa. Setelah pindah ke Jakarta, praktis itu tidak bisa dilakukan Bapak. Saudara-saudara Bapak yang lain tidak ada yang seperhatian Bapak pada makam orang tuanya.
Terutama menjelang lebaran atau pas lebaran, Bapak selalu uring-uringan ingat kampung. Bapak pernah beberapa kali berniat pulang, tapi selalu berhasil dicegah Ibu maupun orang-orang sekampung lainnya. “Buat apa pulang, saya saja yang di kampung mengungsi kemari,” begitu kata mereka.
Dan Bapak terdiam pula ketika mereka, yang baru datang dari kampung, menceritakan makin banyak kejadian tak masuk akal di sana, misalnya ada orang-orang yang sorenya sehat wal afiat, besok pagi sudah ditemukan menjadi mayat. Bahkan, ada yang tak masuk akal lagi: sapi pun ada yang mati tertembak.
Makanya, ketika Bapak sedang begitu kangen untuk pulang kampung, ibu selalu mencari-cari cara untuk menghiburnya. Salah satunya, dengan membikin timphan dan mengundang beberapa keluarga Aceh untuk mencicipinya atau mengadakan kenduri kecil-kecilan untuk mengirim doa kepada almarhum orangtua Bapak dan orangtua Ibu. Dengan banyak yang datang, Bapak jadi terhibur.
Jadi, dalam waktu setahun, ibu bisa sampai lima-enam kali membikin timphan. Di rumah Ibu, bisa dibilang dua-tiga bulan sekali, ada saja acara berbau-bau kendurian. Itu tidak termasuk acara makmeugang setiap satu-dua hari menjelang puasa dan menjelang lebaran, Idul Fitri maupun Idul Adha. Orang-orang selalu diundang, terutama, anak-anak muda, untuk menikmati daging makmeugang masakan ibu.
Bagi Bapak dan Ibu, makmeugak, tradisi potong hewan satu-sua hari menjelang puasa dan lebaran, tetap wajib meski berada di rantau. Bedanya, kalau di kampung, Bapak membeli daging kerbau atau lembu pada hari pemotongan massal di pasar kecamatan. Sedang di sini, cukup membeli di pasar tradisional atau di supermarket.
Selama di Jakarta, Ibu tetap menggunakan tepung beras yang ditumbuk sendiri untuk bahan dasar timphan. Bedanya, ibu tidak menumbuk pakai jeungki, karena penumbuk padi dan tepung khas dari kampung kami itu tak tersedia di sini. Ibu menumbuk tepung beras memakai penumbuk cabe yang terbikin dari batu.
Hasilnya memang tidak selicin tepung yang ditumbuk pakai jeungki. Tapi, seperti kata pepatah, tidak ada rotan, akar pun jadi. Yang pasti, Ibu tetap tidak mau memakai tepung yang ditumbuk dengan mesin, apalagi tepung beras bikinan pabrik. Masalah pernah terjadi satu kali, ketika ibu sakit, sementara ia ingin membuat timphan.
Ibu lalu meminta tolong aku untuk menumbuk tepung. Lalu, aku memberi saran, dari pada capek-capek menumbuk tepung, lebih baik beli tepung beras yang sudah jadi saja. ”Sebab, saya tidak merasa ada beda antara tepung yang ditumbuk sendiri dengan tepung sudah jadi. Bahkan, tepung yang dijual di pasar lebih licin,” kataku.
”Kamu seperti orang bodoh, seperti orang tidak tahu aturan, main hantam saja. Kalau dibilang ditumbuk sendiri ya harus ditumbuk sendiri. Kalau kamu tidak mau bantu menumbuk, ya tidak usah bikin timphan. Nanti kalau sudah agak sehat biar kutumbuk sendiri pelan-pelan,” suara Ibu sengit.
Aku pun diam, tidak ingin mendebat Ibu. Sebab, kalau kudebat, pasti kemarahan Ibu akan makin hebat. Sorenya, sepulang kerja, aku pun mampir ke tempat ibu dan membawa beras yang sudah direndam untuk kutumbuk di rumah. Ketika selesai, aku segera mengantarkan tepung beras itu ke rumah Ibu.
Awalnya, Ibu sempat meragukan melihat tepung yang begitu licin. Tapi, ketika diteliti benar-benar, baru Ibu percaya bahwa itu tepung hasil tumbukan tangan. Besoknya, pagi-pagi, meski belum sembuh benar, Ibu sudah berada di dapur membikin timphan dan mengkukusnya.
Ketika aku mampir ke tempat Ibu sepulang kerja, aku lihat Ibu bersama Bapak serta beberapa orang sedaerah lainnya sedang menikmati timphan bikinan Ibu.
“Kalian tahu enggak siapa yang menumbuk tepung beras untuk membikin timphan ini? Itu orangnya. Makanya lebih enak, karena lebih licin,” kata Ibu sambil menunjuk ke arahku yang sedang masuk ke rumah.
Aku tertawa saja mendengarnya. ”Padahal, kalau ditumbuk pakai mesin atau tepung jadi, pasti lebih licin lagi, dan pasti lebih enak lagi,” kataku menyela.
”Belum tentu, Bang,” tanggap salah seorang di antara anak muda itu. “Kata orang-orang tua, untuk bikin timphan memang harus dari tepung beras kualitas terbaik. Proses untuk menghasilkan tepung itu berbeda. Kalau kita, beras terbaik itu kita rendam dulu, baru kemudian kita tumbuk. Tepung yang dijual di pasar belum tentu begitu.”
”Tapi yang penting kan hasilnya tepung.”
”Jangan salah, tidak semua tepung enak untuk bikin timphan. Mesti tepung beras yang kita tumbuh sendiri. Bukan begitu Makcik?”
Orang yang dipanggil Makcik itu, yakni Ibuku, mengangguk, kemudian menimpali. “Dia memang sudah jadi orang kota. Maunya yang mudah-mudah saja. Tidak mau berkeringat. Dia tidak tahu seninya membuat timphan. Besok-besok, Ibu tidak akan meminta bantuanmu lagi untuk menumbuk tepung beras,” kata Ibu dengan nada setengah marah.
”Bukan begitu. Ini kan tukar pendapat,” kataku.
”Ini bukan soal tukar pendapat. Bilang saja kamu malas membantu Ibu. Ibu menyesal meminta tolong kamu.”
Melihat emosi Ibu makin naik, aku tidak menanggapi lagi. Aku takut Ibu makin marah dan bisa-bisa semua timphan-timphan itu dibuang ke tempat sampah. Ibu memang termasuk orang yang keras dan suka meledak-ledak. Kalau sedang marah, siap-siap saja untuk korban apa saja, piring, gelas, dan sebagainya.
Lalu salah seorang anak muda itu berkata setengah berbisik kepadaku. “Saya pernah makan timphan yang dibikin dengan tepung dari pasar, wah alot, dan entah mengapa memang kurang enak. Bisa jadi memang karena tepung itu dibikin bukan dari beras pilihan dan tidak direndam dulu ketika ditumbuk.”
Aku mengangguk-angguk saja.
”Makanya timphan yang dijual di Warung Wak Leman itu jarang ada yang beli, karena dibikin dari tepung yang dijual di pasar.”
Lagi-lagi aku mengangguk. Yang dikatakan ini memang benar. Aku sendiri pernah mencoba mencicipi timphan di warung itu, rasa timphannya memang agak aneh, beda sekali dengan timphan buatan Ibu. Tapi mengapa Ibu tidak bikin timphan sekalian buat dijual atau menerima pesanan, pikirku tiba-tiba dalam hati. Kalau itu dilakukan, pastilah timphan Ibu akan banyak laku.
Pada kesempatan lain, aku mencoba menanyakan hal itu pada Ibu mengapa tidak membikin timphan untuk dijual. Penjelasan Ibu sungguh mengangetkan aku: ”Timphan itu kan tradisi lebaran. Jadi timphan itu dibikin bukan buat dijual, tapi buat dibagi-bagikan dan dihidangkan kepada orang-orang yang datang.”
Sejenak Ibu terdiam. Aku masih menunggu apa yang bakal dikatakan Ibu selanjutnya. Sebelum berkata lebih lanjut, Ibu menarik nafas dulu. ”Sebenarnya Ibu malas membikin timphan pada hari-hari biasa. Itu membuat timphan tidak khas lagi sebagai penganan lebaran. Tapi bagi Ibu dan Bapak, saat membuat timphan suasananya seperti sedang berada di kampung.”
“Dulu, ketika kecil, Ibu bersama saudara-saudara ibu lain selalu membantu nenekmu yang membuat timphan untuk lebaran. Berasnya dari sawah sendiri. Suasana jadi ramai. Biasanya, anak-anak tetangga juga ikut datang untuk melihat kami membuat timphan. Nenekmu itu kalau membuat timphan sampai lima ratus potong. Itu dibagi-bagikan kepada tamu-tamu yang datang dan ke tetangga-tetangga.”
“Ibu sering kangen kampung. Ibu sering ingat nenekmu yang kini sudah sangat tua dan sakit-sakitan. Ibu sering bermimpi nenekmu menyuruh Ibu pulang. Tetapi niat Ibu untuk pulang selalu lenyap mendengar cerita-cerita ngeri dari sana. Mudah-mudahan pamanmu bisa merawat nenekmu dengan baik.”
Ibu terdiam sejenak. Lalu melanjutkan: “Mudah-mudahan kampung kita nanti benar-benar aman. Pada suatu saat, Ibu dan Bapak harus pulang. Kalau pun Ibu dan Bapak mati di sini, kami ingin dikubur di kampung. Bukan di sini. Karena ini hanya tanah pengungsian.”
Aku tak berkata-kata, melihat beberapa tetes air mata mengalir di wajah ibu, yang mulai keriput. ”Tapi Ibu bingung. Kalau pulang, di mana akan tinggal. Kita sudah tidak punya apa-apa lagi. Semua sudah ditelan tsunami.” Ibu mengusap air mata yang makin deras dengan ujung kerudungnya.
”Rumah kita memang masih ada bentuknya, tapi tidak ada yang memperbaiki, karena tidak ada yang mengurusnya. Ibu dan ayahmu tidak punya uang untuk pulang demi mengurus perbaikan rumah kita. Padahal ibu dan ayahmu sangat ingin merayakan lebaran di kampung, di rumah itu, di rumah tempat lahirmu.”
Ibu tersedu. Tapi, ia buru-buru menghapus air matanya. ”Beberapa hari lagi Lebaran. Kamu harus bantu ibu menumbuk tepung untuk membikin timphan. Mau kan?” Ibu menatapku dengan penuh harap. Aku hanya mengangguk, lalu memeluknya. Aku tak kuat menahan air mata yang merembes di sela-sela bulu mataku. n
----------------------------
CATATAN:
Cerpen ini pernah dimuat di: Sinar Harapan, Sabtu 6 Oktober 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H