“Some cities..some cities crush, some cities heal..” lirik lagu ‘some cities’ dari Doves -band britpop dari Wigan-mengalun di telinga, hentakan drumnya membuat perasaan hati saya menjadi lebih riang. Pagi itu saya sedang dalam perjalanan ke Magelang dalam rangka ziarah ke situs-situs peninggalan sejarah baik dari masa kerajaan hingga pemerintahan kolonial Belanda. rombongan kami berjumlah tiga puluh orang, berangkat bersama dari Universitas Diponegoro Semarang pukul 07.00 WIB menggunakan Bus wisata dan hampir semuanya adalah teman baru. acara yang digagas komunitas Lopen semarang ini cukup unik dan membuat kami semua penasaran, karena hingga berangkat kami tidak tau akan ke situs sejarah mana saja kami dibawanya hahaha. Yang kami tau acara ini berjudul “blusukan kota 1000 candi : menelusuri jejak peradaban klasik di kota Magelang”
Pukul 10.00 WIB kami tiba di alun-alun kota magelang, meeting point dengan teman-teman dari komunitas kota Tua Magelang yang akan memandu kami sepanjang acara. Ada tujuh orang yang akan menemani kami jalan-jalan menelusuri jejak peradaban Magelang yang kurang populer di telinga wisatawan. Mereka adalah Indra Oktora, Bachtiar Agung Nugraha, Chandra Gusta, Nina, bayu, dan anjar. Dua orang dari mereka naik ke bus kami yaitu Indra Oktora, guru bahasa jawa SMA Muhamadiyah magelang yang sedang menempuh program master sastra Nusantara di UGM dan Bachtiar Agung Nugraha sarjana arkeolog UI dengan spesialisasi pembaca prasasti. Mas Indra ini sungguh jenaka, becandaan khas ‘selatan jawa’ nya berhasil membuat kami semua tertawa setiap saat. Dia menyebut acara ini sebagai “yaroh”, mengacu pada ibu-ibu pengajian yang sering men-‘jawa’kan kata “ziarah” menjadi “yaroh”. Hahaha ada ada saja.
Akhirnya tiba juga ke tujuan wisata pertama, berada di kecamatan Muntilan yang menjelang siang itu mendung gelap sekali, yak! kami yaroh ke Candi Ngawen. Jujur itulah pertama kalinya saya tau tentang keberadaan candi tersebut. Candi ngawen lebih rendah dari permukaan laut, dari jalanan candi ini tampak berada ditengah cekungan yang dulunya merupakan kolam atau pertirtaan. Sayangnya tatanan tersebut tidak bisa dipertahankan, kolam ditimbun dengan tanah karena fondasi candi sudah tidak mampu menyangga dan dikhawatirkan ambruk apabila kolam tetap dipertahakan.
[caption id="attachment_340770" align="aligncenter" width="240" caption="Candi Ngawen (dokumen pribadi Ade Pramudhito)"][/caption]
Keunikan candi Ngawen adalah terdapat perwara seperti candi-candi Hindu tapi jika diperhatikan candi Ngawen ini merupakan candi Budha dengan keberadaan arca Budha di candi utama dengan posisi Bhumiparsa yaitu sikap tangan memanggil bumi -mengacu pada kisah budha ketika diganggu mara di bawah pohon bodhi- dan Ratnasambhawa yaitu sikap tangan memeberi anugerah. Di setiap sudut candi juga terdapat Jaladwara, pancuran air yang berbentuk singa dengan beberapa organ hewan lain seperti ular dan buaya. Arca makara juga tampak berdiri utuh di anak tangga pertama menuju candi. Namun sayang arca budha dalam kondisi mengenaskan, tidak berkepala.
[caption id="attachment_341339" align="aligncenter" width="240" caption="arca tanpa kepala (dok.pribadi Ade Pramudhito)"]
Hilangnya kepala-kepala budha tersebut sungguh mengecewakan dan perlu jadi perhatian pemerintah. Menurut cerita warga setempat, pada dekade 1970an ada sekelompok orang bersenjata mendatangi candi Ngawen dan memenggal kepala sang Budha. Tidak ada yang berani menegur waktu itu. Tak dipungkiri harga arca kuno memang tinggi, sebut saja kontroversi pelelangan archa budha akshobya tahun 2005 yang konon dicuri dari candi borobudur di sebuah balai lelang di New York dengan harga pembukaan 2,8 Milyar. Angka tersebut membuat siapa saja yang ingin kaya mendadak jadi penjahat.
Hujan turun deras dan kamipun meninggalkan candi Ngawen menuju tujuan yaroh kedua yaitu gedung eks karesidenan Magelang yang tak jauh dari pusat kota Magelang. Gedung ini jelas berarsitektur khas bangunan pemerintah kolonial dengan pintu tinggi dan ventilasi setengah lingkaran diatasnya. Warna didominasi putih dengan aksen garis warna krem tua di setiap ujungnya. Gedung ini bak istana yang pastiya terlihat sangat megah di zamanya dengan taman belakang beralas rumput jepang yang luas dan sangat leluasa melihat desa-desa di perbukitan di kaki gunung sumbing. Dan dari taman itulah pemerintah kolonial memonitor pergerakan pangeran Diponegoro dan pasukan gerilyanya di desa-desa sepanjang bukit tersebut. Di taman juga terdapat meriam yang moncongnya menghadap langsung ke arah perbukitan.
dokumen pribadi Ade Pramudhito
“UGM cabang magelang? Oh serius ada tho?” respon pertama saya setengah tak percaya ketika Mas Indra bercerita tentang keberadaan universitas tersebut yang masih di kompleks gedung eks karesidenan ini. UGM cabang Magelang berdiri tahun 1964 namun berhenti beroperasi tahun 1978 ketika muncul keputusan menteri pendidikan saat itu untuk menutup aktivitas kampus dan meleburnya dengan kampus induk di Sleman, Yogyakarta. Bangunanya dibiarkan kosong dan tampaknya tidak pernah digunakan beraktivitas lagi oleh pengelola. Tak jauh dari bekas gedung terdapat prasasti yang baru dibangun tahun 2007 untuk mengenang keberadaan UGM cabang Magelang ini. Konon di masa itu ada sebuah candaan jika seseorang mengaku mahasiswa UGM, maka orang akan meledek “halah palingan UGM cabang Magelang hahaha”.
[caption id="attachment_340776" align="aligncenter" width="240" caption="Prasasti UGM cab. Magelang (dok. pribadi Ade Pramudhito)"]
Dalam perjalanan menuju tujuan yaroh terakhir kami sempat mampir ke masjid Tiban yang berlokasi di desa Trasan kecamatan Bandongan. Konon masjid ini tiba-tiba berdiri dalam semalam tanpa ada yang tau siapa yang membangunya. Oleh karena itu masjid ini dikeramatkan masyarakat sekitar dan menjadi pusat syiar agama Islam di masa lalu hingga hari ini. Bangunan masjid cukup sederhana khas masjid jawa pada umumnya, disokong kayu jati di setiap sudut dan terdapat mimbar berukir untuk sang imam. Tak lama setelah melihat bagian dalam masjid kami langsung bergegas kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan.
[caption id="attachment_340777" align="aligncenter" width="240" caption="Masjid Tiban desa Trasan (dok. pribadi Ade Pramudhito)"]
Jam tangan saya menunjukan pukul 15.07 WIB ketika kami sampai ke tujuan yaroh terakhir, yaitu candi Selogriyo. Candi Selogriyo berada di desa Kembang Kuning kecamatan windusari dan karena berada di atas bukit maka dibutuhkan cukup tenaga untuk jalan ‘nanjak’ atau hiking sekitar 30 menit. Sepanjang perjalanan jangan ditanya keindahan alam pedesaan khas indonesia yang ‘ijo royo-royo’ menyejukan mata dan pikiran. Alur terasering meliuk-liuk mengikuti kontur bukit membuat saya harus berkali-kali mengabadikan foto, dengan selfie tentunya hehehe.
[caption id="attachment_340778" align="aligncenter" width="240" caption="komoditas perkebunan di perbukitan menuju Candi Selogriyo (dok. pribadi Ade Pramudhito)"]
[caption id="attachment_340779" align="aligncenter" width="240" caption="candi selogriyo (dok. pribadi Ade Pramudhito)"]
Candi Selogriyo ditemukan pada tahun 1835 oleh orang Belanda dalam keadaan tertimbun longsor. Belum jelas sejak abad berapa candi ini dibangun, kemungkinan candi ini ditinggalkan oleh penduduk pasca erupsi besar merapi sekitar abad ke-9. Sama seperti candi lain di magelang di era Mataram kuno, ditinggalkan penduduk yang membuat peradaban baru di jawa timur. Candi Selogriyo memiliki empat sisi yang masing-masing terdapat arca Agastya, arca Durga Mahisasuramardhini, arca Ganesha, dan arca Nandiswara. Dan lagi-lagi keadaanya mengenaskan karena dari empat candi tersebut, ketiganya sudah tak berkepala entah siapa yang mencuri. Nasib mujur dialami arca agastya karena sang pencuri kepergok ketika akan memotong kepalanya. Aksi pencurian gagal namun bagian rahang hingga dada tampak pecah. Dan saya sempat senyum geli ketika mecoba masuk ke dalam candi, karena di dinding dalam candi ada papan peringatan unik bertulis “dilarang pacaran di dalam candi ini” hahaha.. apa iya ada yang pacaran disitu?
[caption id="attachment_340781" align="aligncenter" width="240" caption="hahaha sssttt dilarang pacaran (dok. pribadi Ade Pramudhito)"]