Mohon tunggu...
Monica Niken Wulandari
Monica Niken Wulandari Mohon Tunggu... Seniman - PNS Polri, Musisi, Pengajar, Suka Traveling, Ibu dari Do dan Re, Suka sesuatu yang baru

Menulis bebas apa yang ada di pikiran saya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Stop Mengatakan Orang Lain Bodoh

11 Juni 2021   07:20 Diperbarui: 11 Juni 2021   07:30 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya dan tata krama dalam bertutur kata anak-anak jaman sekarang telah berubah. Bagi kita yang lahir sebelum era milenial, tentu hal ini menjadi keprihatinan tersendiri. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan, pergaulan dengan teman-temannya, tayangan televisi dan media sosial. \Sering sekali dengan mudahnya orang mengatakan sesamanya "Bodoh". Suatu waktu saya sengaja mengamati pergaulan anak-anak saya, terjadi juga hal itu. Harus dengan sabar dan menjelaskan dengan argumen dan dasar teori yang valid untuk melarang anak-anak mengatakan "Bodoh" kepada sesamanya. 

Albert Einstein berkata: "Semua orang jenius. Tapi jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani hidupnya dengan percaya bahwa itu bodoh." Dari sini kita tahu bahwa tidak ada manusia bodoh kecuali lagu Ada Band yang meyakini bahwa dia adalah Manusia bodoh karena ketidak mampuannya menaklukkan cintanya dan terluka karena pasangannya. Padahal menurut saya dia pintar, karena dia akan mendapat pasangan yang pantas untuknya.

Merujuk pada buku Frames Of Mind yang ditulis oleh Howard Gardner,  kecerdasan dalam multiple intelligences meliputi kecerdasan verbal-lingustik (cerdas kata), kecerdasan logis-matematis (cerdas angka), kecerdasan visual-spasial (cerdas gambar-warna), kecerdasan musikal (cerdas musik-lagu), kecerdasan kinestetik (cerdas gerak), kecerdasan interpersonal (cerdas sosial) dan teori ini masih terus berkembang. 

Bagaimana mungkin kita mengatakan orang lain bodoh kalau dilihat dari teori di atas? Sebagai gambarannya, tukang kayu sekalipun bekerja dengan sistematis. mengukur kayu yang akan dibuat kursi, lemari atau mebel lainnya. Dia berikir bagaimana ukurannya bisa presisi karena selisih berapa milimeter saja tidak akan pas. Ini tentu dibutuhkan rumus matematika yang terkadang tidak dipelajari di sekolah. Mungkin bila dilakukan survei dan penelitian di Jepara, akan diketahui latar belakang pendidikan mereka dan dapat disimpulkan bahwa orang pandai tidak harus sekolah secara formal.

 Krisdayanti seorang diva Indonesia, penyanyi handal yang berprestasi lewat ajang bergengsi tingkat dunia yang tidak disertai gimmick dalam perlombaannya. Dia sangat cerdas dalam menyanyikan lagu, dalam improvisasi nada-nada, ekspresinya tidak pernah main-main dalam bernyanyi dan beracting. Tentu tidak bisa disamakan dengan mahasiswa lulusan teknik sipil yang handal menggambar kontruksi bangunan lengkap dengan detail ukurannya. Seorang atlet, dia cerdas dalam hal kinestetik. Seniman pematung juga cerdas dalam bidangnya. Orang cerdas bukan hanya orang yang pandai matematika atau kimia dan kedokteran.  Semua manusia cerdas dan jenius dalam  bidang masing-masing. 

Kita dapat memulai dari cara mendidik anak, sekali kita katakan dia bodoh hanya karena tidak dapat melakukan satu hal, dia akan menjadi kecil hati dan merasa bodoh, karena kita orang tua yang sangat dia percaya telah mengatakannya. Dibutuhkan kesabaran dan pengetahuan dalam mendidik anak. Bagi para ibu, pendidikan sangatlah penting, jika memang tidak ada waktu untuk mengenyam pendidikan tinggi, kita bisa membaca buku, seminar online, atau belajar dari internet. Jangan pernah merasa rugi pernah kuliah dan akhirnya tidak bekerja karena mengikuti suami, karena anda pasti Ibu yang hebat dalam mendidik anak dengan latar pendidikan yang baik. Kenali kemampuan anak-anak kita dan jangan memaksakan kehendak serta jangan pernah mengatakan anak kita bodoh, karena suatu saat akan dikatakannya kepada orang lain. Mari kita cerdas menerima perbedaan dalam kemampuan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun