Bulan Ramadhan selalu membuat kerinduan pada kampung halaman, kampung dimana saya dilahirkan. Desa Sukorejo berada di kabupaten Kendal Jawa Tengah. Kira-kira 2 jam dari bandara Ahmad Yani. Pada masanya, Desa kami pernah menjadi Juara 1 lomba klompencapir masa Orde Baru, dan waktu itu Presiden Republik Indonesia Ke 2 Pak Harto sempat mengunjungi Desa kami dan saya menjadi salah satu penari kolosal.Â
Tarinya berjudul Tari Kuthuk (anak ayam). Ah indahnya desa kami, yang juda penghasil Kopi liberica yang mulai jarang ditemui. Pohonnya Bisa tinggi tidak seperti pohon kopi kebanyakan. Sekarang Pohon-pohon kopi mulai jarang karena kebunnya sudah menjadi Hunian atau perumahan.Â
Desa kami amat Damai. Suku Jawa dan China hidup berdampingan dan saling menghormati. Agama Mayoritas Islam, dan kaum minoritas seperti saya juga mendapat kesempatan sebebas-bebasnya untuk beribadah, terakhir waktu paskah bulan lalu gereja kami dijaga Banser dan juga para pemuda muslim dari beberapa kelompok.
 Maka jangan heran ketika oknum FPI membuat masalah, merasia Desa kami pada tahun 2013 lalu dan memakan korban, seorang Ibu yang tidak berdosa ditabrak dan terseret kurang lebih 300 meter dan akhirnya meninggal, alun-alun langsung penuh manusia dan tidak tahu agamanya apa, langsung mengejar FPI yang akhirnya kocar-kacir masuk masjid dan diangkut Truck brimob dari Polda Jateng, itupun malam hari dalam keadaan lampu dimatikan baru bisa terselamatkan, karena kalau tidak, bisa dipastikan oknum FPI dari kabupaten seberang itu babak belur diamuk massa.Â
Sekilas tentang Desa kami bisa menggambarkan betapa damainya tinggal di Desa Sukorejo. Saya masih ingat dengan jelas, sewaktu saya SD, saya mulai ikut berpuasa dan Ibu saya biasanya membangunkan untuk sahur. ini terbawa hingga dewasa, bukan karena agama tapi karena Budaya dan menghormati Agama Islam.Â
Setelah sahur, saya biasanya keluar rumah bersama teman-teman sebaya, sudah bisa dipastikan saya membawa petasan untuk berjaga-jaga apabila ada anak yang iseng. Sampai suatu waktu, saya dilampar petasan kecil dan kebetulan saa membawa petasan dan obat nyamuk, maksud hati mau membalas, petasan 10 biji di tangan kiri saya pindahkan satu ke tangan kanan dan obat nyamuk ke tangan kiri bersama petasan yang lain.Â
Begitu saya nyalakan saya balas lempar ke arah anak-anak yang bandel bersamaan dengan bunyi: "Duaarr" di petasan yang saya lempar, terdengar bunyi yang sama yang sy bingung dari mana asalnya, beberapa detik kemudian, saya baru sadar tangan saya sudah berdarah, alamak... kasus besar, bukan masalah sakitnya, terbayang omelan Ibu saya, bisa dihajar saya sampai rumah. Untk menghlangkan jejak, saya lap pakai jaket dan saya lepas jaketnya bergaya untuk saya ikat di pinggang sambil menutupi tangan.Â
Sampai rumah segera saya cuci dan tidak lupa saya petik jeruk nipis di depan rumah, karena Bapak saya hobby bercocok tanam. Rasanya luka disiram jeruk nipis itu bagaikan sakit hati ditinggal mantan dan akhirnya dia  menikah dengan orang lain... he he.. sudah untuk mendeskripsikan. Jeruk nipis ini terbukti membuat luka saya cepat kering. Daripada kena omel Ibu saya.  Ok itu satu kisah yang tidak ketahuan Ibu sampai sekarang. Untuk Ibu saya tidak punya sosmed. Amanlah....Â
Kenangan tentang ramadhan di kampung adalah saat setelah saur menuju jalan dari bundaran ke arah Temanggung. Jalan yang menurun membuat kami semakin leluasa bermain laker. Semacam papan yang diberi roda. Kami menyebutnya bermain lakeran. Ah itu sungguh mainan mewah pada waktu itu, saat belum ada mobil remote. Sensasinya naim laker di jalan menurun itu wow. Mungkin hampir mirip skate board. tapi kami duduk di atasnya.
 Suaranya brisik tapi seru, memang sih kebanyakan cowok yang main laker, tapi apa peduli saya. Petasan, kembang api dan laker serta tutup panci adalah properti wajib untuk disiapkan di bulan ramadhan. Tutup panci digunakan untuk membangunkan orang saur, keliling kampung sambil menabuh apa saja termasuk tutup panci. Karena kalau tidak di bulan ramadhan, acara klothek'an hanya ada waktu bulan purnama.Â
Untuk mendapatkan petasan, saya bersama teman-teman sebelum ramadhan sudah sibuk mencari kopi yang jatuh dibawah pohon, untuk kami kumpulkan dan dijual. Hasilnya untuk uang saku lebaran dan kegiatan ramadhan.
 Tiba waktu akhir hari puasa, saya ikut berkeliling Takbiran pakai mobil bak terbuka, sambil (tetap) membawa tutup panci untuk saya tabuh. Takbiran keliling kampung dahulu sangat tertib dan kreatif. Suasananya sangat ramai dan menyenangkan. Lebaran di rumah saya sampai sekarang menu wajibnya sama dengan umat Muslim pada umumnya. Ketupat, opor, sambal goreng ati, kue-kue, dan Ibu saya memasak tahu campur, waktu Bapak saya masih hidup ditambah dendeng ragi dan juga babat iso.Â
Kalau natal malah tidak seheboh ini dan saya selalu wajib punya baju baru di hari lebaran. Padahal Natal dan Paskah kami santai-santai saja. Mungkin karena Budaya di kampung begitu, sayapun enjoy saja menikmati moment ini. Saat lebaran tiba, saya ikut sibuk keliling kampung bersalam-salaman dan tidak lupa membawa tas kecil untuk tempat angpau.Â
Bapak sayapun ikut sibuk keliling kampung dan setelah itu menerima tamu dirumah karena bapak saya puluhan tahun jadi ketua RT. Walaupun Katolik, tetap saja banyak yang datang untuk berlebaran. Desa kami memang damai dan tentram. Untuk perusuh, jangan coba-coba datang ke Desa Kami. Habis Anda. Warga Desa kami sangat militandan cepat tanggap kalau menyangkut keamanan dan ketertiban.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H