Di era milenial ini, semua yang kita inginkan bisa didapatkan dengan mudah dan cepat hanya dengan mengeklik layar pada smartphone semua bisa didapatkan. Begitu pula dengan sebuah karya musik, hanya dengan 'berselancar' di internet kita bisa mengunduh musik yang ingin kita dengarkan. Semua nya itu bisa kita dapatkan dengan tanpa biaya alias gratis. Dengan kemajuan teknologi yang tidak bisa dibendung ini, musisi Indonesia hidup hanya mengandalkan RBT, konser, audio streaming dan soundtrack lagu yang dipakai untuk sinetron atau film (itu pun hanya sedikit).
Pada mulanya musik itu adalah kehadiran seorang musisi itu secara langsung, namun sejak awal abad 20 musisi sudah diwakili oleh pringan hitam dan gramophone yang awalnya musik itu dibatasi oleh ruang dan waktu. Lambat laun industri musik pun familiar di dunia. Awal mulanya musisi hanya meperdengarkan musiknya lewat konser-konser yang diadakan, maka dengan dengan adanya industri rekaman, daya jangkau musik mereka semakin luas dan seakan tak terbatas ruang dan waktu.Â
Label menduduki posisi sebagai produsen di pasar, kemudian para musisi sebagai kreator, dan tentu yang ketiga adalah masyarakat sebagai pangsa pasar produk industri rekaman itu sendiri. Diawali dengan teknologi gramophone menggunakan piringan hitam yang bisa menghadirkan para musisi ke ruang-ruang pendengarnya kapanpun dimau. Sekali lagi, logika business machine terus bergulir di sini.       Â
Industri rekaman membentuk budaya baru di tengah masyarakat dan musisi. Perusahaan rekaman besar mulai mendominasi pasar musik di seluruh dunia. Seperti Universal, Decca, Sony BMG, dan lainnya. Dari dekade ke dekade perkembangan industri musik semakin cepat berjalan. Pasar industri ini telah membentuk cara baru yang sangat ampuh dalam 'memasarkan' -- membagikan musik kepada masyarakat. Musik dikemas sedemikian rupa untuk dijual menjadi produk dalam bentuk kaset, CD, maupun video musik. Kontras jika dibandingkan dengan satu abad sebelumnya di mana masyarakat hanya akan menjumpai musisi dan musik di ruang-ruang pertunjukan. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Sebagai sebuah catatan penting, mari tengok statistik keseluruhan penjualan album The Beatles yang dirilis oleh RIAA, Apple Records, EMI pada tanggal 23 Juli 2012 . Statistiknya sangat fantastis. Terhitung mulai album pertama The Beatles, Please-Please Me yang dirilis tahun 1963 dan album-album selanjutnya telah terjual sebanyak 2,303,500,000 di seluruh dunia. Sebuah angka statistik pasar album-album The Beatles yang luar biasa diikuti dengan sebuah gerakan budaya populer yang kuat.Â
Kekuatan musik The Beatles dan industri musik yang mendorongnya, membuat di antaranya para muda-mudi di seluruh dunia gandrung. Dari musik merambah hingga patron gaya rambut shaggy, gaya kacamata bundar John Lennon, gaya berpakaian jas, hingga yang menyangkut daerah asal Paul McCartney dan kawan-kawan, yakni aksen bahasa Inggris scouse yang begitu kental dari para pemuda asal kota pelabuhan, Liverpool ini. Â Â Â Â Â
Perkembangan teknologi dalam industri rekam musik, hingga media digital dan internet telah banyak mengubah praktik-praktik dalam dunia musik, terutama cara masyarakat dunia menikmati musik. Dengan ini, persebaran musik menjadi tak terbatas jika dahulu kita harus datang di sebuah konser untuk mendengarkan musik sekarang hanya dengan mengunduh di internet kita dapat menikmatinya. Dampak kemajuan teknologi ini tidak hanya membawa dampak yang positif tapi juga negatif.Â
Banyak sekali situs situs di internet yang menyediakan musik tersebut secara gratis tanpa biaya. Akibatnya banyak musisi yang tidak mendapatkan haknya. Padahal di Indonesia perlindungan hak cipta telah diatur dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2002. Dengan kata lain, pemilik hak cipta, bebas memperbanyak karyanya, baik berupa buku, film, musik, dan sebagiannya. Kalaupun ada pihak yang ingin memperbanyak karya tersebut, maka harus mengikuti prosedur undang-undang hak cipta, sehingga pihak pemilik hak cipta tidak merasa dirugikan.
Karena pada dasarnya, perlindungan hak cipta juga secara tidak langsung melindungi hak moral dan hak ekonomi dari si pemilik hak cipta. Contohnya, ketika dengan sebuah karya musik, seorang musisi mampu mendapatkan penghasilan. Lalu, musik karyanya dibajak dan digunakan oleh orang lain untuk diperbanyak, dan hanya menguntungkan pihak pembajak tersebut. Hal ini sering kita temui dalam penyebaran MP3 secara gratis di situs-situs tidak berlisensi.Â
Tentunya hal ini menjadi pelanggaran yang jika dilakukan, seharusnya harus mendapat sanksi hukum. Ada banyak faktor mengapa pembajakan di Indonesia bisa berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Faktornya adalah biaya yang murah alias gratis untuk mendapatkannya, bahkan web/situs yang membajak mendapatkan keuntungan dari iklan iklan yang disematkan di situs illegal tersebut. Dan juga ada kasus karya yang direkam ulang dan diperjualbelikan tanpa persetujuan si empunya lagu. Contohnya adalah lagu 'Akad' yang diciptakan payung teduh, lagu yang sangat fenomenal ini banyak sekali orang "mengcover" ulang bahkan ada yang menjual dengan versi yang berbeda tanpa persetujuan management Payung Teduh.
Masyarakat tidak terbiasa membeli produk rekaman asli, hanya membeli sebuah produk yang mengorientasikan pada harga barang tanpa melihat kualitas dari barang tersebut. Kurang nya peran pemerintah pun juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Sanksi hukum yang diterapkan terhadap pembajakan kaset hanya diterapkan pada pembajak kaset saja, belum diterapkan pada konsumen yang membeli kaset bajakan. Selama ini penegakkan hukum di bidang hak cipta, khususnya karya musik berupa kaset belum berlaku secara menyeluruh. Apabila mengacu pada Undang-Undang Hak Cipta, maka sanksi yang ditekankan kepada pembajak hanya bersifat denda semata dan belum mengarah pada sanksi yang bersifat pidana.