Kasus cek pelawat yang melibatkan ibu-ibu, erjalan tertatih selangkah demi selangkah. Kemaren, giliran ibu Miranda divonis 3 tahun penjara, dan mesti membayar denda 100 juta rupiah. Hakim Ketua Gusrizal menyatakan, "Apabila denda tersebut tidak dipenuhi akan diganti dengan kurungan selama 3 bulan. Menetapkan, agar masa penahanan yang telah dilaksanakan dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan, sekaligus memerintahkan agar Miranda Swaray Goeltom tetap dalam tahanan. Dua TV swasta nasional yang suka mengetengahkan topik aktual, hampir dalam waktu bersamaan menampilkan pengacara Miranda Swaray Goeltom, salah satunya berdebat dengan salah seorang aktivis ICW. Sebagai pengacara, pastilah membela kliennya mati-matian secara argumentatif. Beberapa hal yang diutarakan intinya menegaskan bahwa tidak ada fakta persidangan yang membuktikan Miranda Swaray Goeltom terlibat. Di beberapa media online, Dodi Abdul Kadir, kuasa hukum Miranda Gultom, menyatakan bahwa memang benar ada cek pelawat yang diterima sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, "Ini kan seperti Jokowi waktu pencalonan gubernur," katanya. "Pendukungnya kan berbuat banyak macamnya, apa pasti tindakan itu diketahui Jokowi dan Ahok. Pertemuan Miranda dan Nunun memang ada. Namun penuntut umum, kata Dodi, tak memiliki fakta hubungan antara pemberian cek oleh Nunun kepada anggota DPR dengan proses pencalonan Miranda. (baca di sini) [caption id="attachment_201428" align="aligncenter" width="570" caption="Miranda Swaray Goeltom; Tegas. Ilustrasi. Sumber: atcehlink.com"][/caption] Tak bisa disangkal, hukum, persidangan, dan kebenaran, adalah hal yang berbeda. Kebenaran bisa terbukti secara hukum, tapi belum tentu di persidangan. Hukum diputuskan di persidangan, namun belum tentu itu adalah kebenaran. Gudang narasi hukum teoretis, seakan tak cukup sebagai referensi sekian banyak MODEL kasus. Cara jitu membuktikan sesuatu sebagai kebenaran dalam persidangan, bukan hal mudah. Sambil tiduran, sebagai penonton SAJA (biasanya ahli komentar), kucoba memikirkan trik jitu seorang hakim membuktikan, atau setidaknya memuat terdakwa berbicara jujur. Sampai kemudian, kuingat dua buah cerita nyentrik. Ceritanya begini; Cerita pertama,>>Dua sejoli, berpacaran di pinggir sungai. Rayuan maut lisan pun mengalir. "Neng, kamu memang cantik, Miyabi pun kalah". Permpuan dengan tersipu kemudian menjawab, "Ah, gombal... Laki-laki banyak yang bilang begitu, mereka semua sama, laki-laki memang BUAYA..... Tiba-tiba seekor buaya besar melompat dari dalam air, dan berkata, "Hey kalian, pacaran sih pacaran, tapi jangan catut nama saya...!!!". Cerita kedua.>>Suatu malam gelap tak berbintang, sunyi, hening, senyap... (pokoknya semua), seorang pencuri mengendap mendekati sebuah rumah mewah terbuat dari kayu. Pencuri itu berhasil naik sampai beranda rumah, namun tanpa sengaja menginjak kantong kresek, sehinggan memecah kesunyian. Tuan rumah berkata kepada istrinya, "Pa, jangan-jangan itu pencuri, cek dulu dong, aku takut"?. "Ah, bukan, cuma kucing kok", jawab suaminya. Pencuri mendengar percakapan itu, berpikir untuk mendukung bahwa sebenarnya dia kucing. Dia ingin mengatakan, "Meoonggg...", namun dia lupa, dan berkata, "Kuciinnnggg". Dua cerita di atas, sebenarnya berkaitan dengan kesadaran manusia. Manusia yang salah, akan mudah panik, dan panik akan mengurangi tingkat kesadarannya. Saya tidak tahu, trik ini boleh tidak digunakan di persidangan, dan mudah-mudahan tidak boleh, karena saya takut, akan banyak BUAYA, dan KUCING baru di persidangan yang berbicara benar... @as Genteng Gue
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H