Sejumlah media telelvisi memberitakan, bahwa telah terjadi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas mantan wali kota Solo yang kini sebagai Gubernur DKI Jakarta. Peristiwa tangkap terjadi saat sore menjelang malam di sebuah restoran siap saji pusat kota. Disinyalir terjadi transaksi korupsi, hal ini berdasarkan barang bukti berupa Dollar Singapura yang belum diketahui pasti jumlahnya Saat ini tersangka korupsi telah dibawa ke kantor KPK, dengan iring-iringan mobil putih milik KPK. Di kantor KPK sendiri ratusan massa telah menunggu. Uniknya ada dua kubu massa yang saling berhadap-hadapan. Satu massa pendukung pemberantasan korupsi, satunya lagi adalah para Jokowistik (pendukung Jokowi). Kedua kubu saling meneriakkan yel yel kepada masing-masing idolanya. Mengantisipasi situasi yang makin memanas, aparat kepolisian berjaga-jaga di lokasi. Puluhan satuan setara kompi diterjunkan ke lokasi. Tak jauh dari kubu yang berjubel, mobil yang membawa gas air mata juga terlihat telah bersiap-siap mengantisipasi segala kemungkinan. Wartawan tak mau kalah, juga berusaha mengambil tempat strategis meliput berita paling hangat tahun ini. Namun apa yang terjadi ?, ketika iring-iringan mobil KPK tiba, sontak saya sadar, ternyata saya melamun. Lamunanku buyar ketika melihat monyet di tv yang dikembalikan ke habitatnya. Kembalinya monyet itu akibat larangan topeng monyet oleh pemda DKI. Yang membuat saya terkejut, adalah pemilik (tuan) dari monyet itu berteriak ingin bergabung dengan segerombolan monyet lain. benar-benar berperikemonyetan.
***
Bagi pembaca yang cinta mati dengan Jokowi, lamunanku itu tentu dikatakan tidak masuk akal, ngarang, dan berbau profokasi. Tapi itulah lamunan. Lamunan lebih didiminasi hal yang tidak masuk akal. “Buat apa juga melamun kalau lamunan setengah-tengah.” Kata temanku. Beda dengan orang yang berprinsip kalau di dunia ini tidak ada sesuatu yang tidak mungkin, yang tidak mungkin hanyalah tidak ada yang tidak mungkin atau ketidakmungkinan itu sendiri. Hayalan, lamunan bentuk apapun bisa saja menjadi kenyataan. Konon, sebelum Amstrong berhasil mendarat ke bulan, perjalanan ke luar angkasa temasuk ke bulan hanya ada dalam hayalan dan lamunan, dan dikatakan tidak mungkin. Ketidakmungkinan itu banyak difatwakan oleh pihak agamawan, kalangan gereja kala itu. Tapi apa mau dikata, ternyata lamunan itu, yang katanya tidak mungkin itu terjadi, akhirnya ilmu pengetahuan membuktikannnya. Kira-kira, kelak jika lamunanku menjadi kenyataan (semoga tidak), apa yang terjadi ?. Bisa jadi tak jauh dari cerita di atas. Kenyataan bahwa di Negara kita, ada dua hal masih dipercaya publik, bahkan kepercayaan itu sedikit-demi sedikit menjadi ashabiyyah, (fanatisme berlebihan), yaitu terhadap Jokowi dan KPK. Fanatisme terhadap suami Iriana muncul di tengah kehausan masyarakat akan pimpinan merakyat, dan itu dibuktikan Jokowi dengan gaya blusukannya. Kedua, fanatisme terhadap KPK, lebih disebabkan kebencian masyarakat terhadap tindak pidana korupsi yang telah merambah ke semua lini, dan KPK menjawabnya. Di mana letak kemungkinan lamunan itu bisa menjadi kenyataan ?. Sederhana, Jokowi adalah manusia, tak ada manusia yang luput dari kesalahan dan kekhilafan. Jokowi adalah manusia biasa, kekhilafan tak tertutup baginya. Namun apakah kekhilafannya terkait dengan KPK ?, belum tentu iya dan belum tentu tidak. Di sinilah fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Selain Jokowi, semua bisa hadir memberi kritik, saran, nasehat, dan doa. Dengan usaha demikianlah yang bisa menghindarkan mantan tukang kayu umur 12 tahun ini dari kenyataan lamunan tadi. [caption id="attachment_274748" align="aligncenter" width="673" caption="Sumber gambar : news.liputan6.com"][/caption] Sedikit beda dengan KPK. KPK di mata saya tidak bersih amat. Pemilihan pimpinan KPK yang ditentukan oleh anggota DPR membuat saya ragu sejak awal, transaksi politis sulit dihindari. Demikian pula fakta bahwa KPK sepertinya memilah kasus-kasus tertentu dan mengabaikan kasus terkait kekuasaan. Nyanyian Nazar yang hanya diakomodir sebagian adalah buktinya. KPK sebagai alat kekuasaan seperti kritik banyak orang, tentu mengisyaratkan bahwa lembaga superbody ini bisa menghantam siapa saja, termasuk Jokowi. Dan perlu diingat, KPK pun memiliki banyak fans fanatic. Bagaimana sikap kita ?. saya terkadang sedih dengan beberapa komentar di media online. Lebih baik golput daripada Jokowi tidak nyapres. Apapun itu, siapapun itu, apa yang ditetapkan KPK pasti terbukti bersalah. Kalimat ini, adalah bentuk fanatisme buta. Ada beberapa ciri fanatisme buta, di antaranya; ketika yang bersangkutan tidak lagi bisa memilah antara hak dan kewajiban. Memilih Jokowi adalah hak, menjadi pemilih adalah kewajiban. Ciri fanatisme lain adalah kematian akal/ rasionalitas. Memastikan sesuatu terus menerus dari hal yang berasal dari manusia itu tidak rasional. Fanatik boleh, tapi fanatisme berlebihan itu yang tidak boleh. Saatnya kita melihat sesuatu sesuai kadarnya. Gaya blusukan Jokowi yang merakyat, tidak mungkin menutupi semua dan melabelkannya baik sepanjang masa dan segala hal. Demikian pula dengan KPK, keberhasilannya harus dilihat dengan standar kepatutan. KPK bukanlah sesuatu yang sempurna, butuh kritikan, teguran, dan pengawasan. Karena jika tidak, dua kubu seperti dalam lamunan saya tadi, akan berjibaku di depan kantor KPK. Salam Celoteh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H