Kapitalisme Menjadikan Anak Sebagai Komoditas
Anak adalah generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan peradaban. Membentuk pemimpin masa depan dimulai dari pembentukan anak sebagai generasi selanjutnya. Generasi yang buruk akan melahirkan masa depan yang buruk juga. Peradaban cemerlang tentu harus disiapkan dari sekarang.
Tak habis pikir apa yang menimpa negeri ini, anak-anak dieksploitasi atas nama kebutuhan ekonomi. Dilansir dari detik.sumut, 2 panti asuhan di Medan mengeksploitasi anak-anak melalui live tiktok. Dari live tiktok, mereka menggugah hati netizen untuk mendapatkan donasi. Padahal diantara anak-anak tersebut ada yang dititp dan memiliki orang tua. Panti asuhan  tersebut sudah 8 bulan beroperasi tetapi belum memiliki izin. Tak sedikit, penghasilan dari live tiktok bisa sampai Rp. 20 juta -- Rp 50 juta.
Hanya mampu mengelus dada, bukan hanya eksploitas, prostitusi pun terjadi pada anak-anak. Â Polda Metro Jaya menangkap seorang mucikari yang melakukan prostitusi anak di bawah umur melalui media sosial. Tersangka berisinial FEA(24 tahun) alias Icha melakukan bisnis eksplotasi tersebut melalui media sosial. Korban ditawarkan oleh FEA dengan harga mulai dari Rp1,5 juta hingga Rp 8 juta per jam-nya.
Anak dalam bahaya
Kehidupan yang keras hari ini membuat seseorang melakukan apapun meraih tujuannya. Tanpa peduli halal dan haram, ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya.
Pertama, rapuhnya pemahaman akidah anak di keluarga. Peranan pendidikan akidah dikeluarga memang menjadi ujung tombak pertahanan anak menjalani kehidupan saat ini. Tanpa pemahaman akidah anak mengalami krisis jati diri dalam memaknai hidup. Keberhasilan  distandarkan pada materi, kemewahan dan gaya hedonis.
Lingkungan sekitar pun memicu berbagai sifat komsumtif, mengakibatkan individu berlomba-lomba mendapatkan pengakuan. Sadar atau tidak, hal ini membuat hidup yang  dijalani hanya untuk penilaian manusia semata.
Penghasilan orang tua yang tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya. Jangankan gaya hidup kebutuhan pokok saja masih banyak yang belum terpenuhi. Tak heran anak yang masih berada di bangku sekolah sampai memilih untuk bekerja.
Kedua, virus sekuler kapitalisme yang menyerang seluruh lini kehidupan. Kapitalisme telah menjadikan standar kebahagiaan seseorang terletak pada materi. Gaya hidup hedonisme membuat masyarakat menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Biaya hidup yang serba mahal ditambah lagi berbagai kebijakan negara yang semakin mencekik rakyat. Keubutuhan pokok seperti, beras, minyak goreng, telur gas elpiji semakin melambung. Bukan hanya mahal, bahan-bahan pokok tersebut bahkan mengalami kelangkaan. Listrik dan BBM perlahan dihilangkan subsidinya, sementara kendaraan listrik disubsidi besar-besaran.