Mohon tunggu...
Musa Rustam
Musa Rustam Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Musa Rustam adalah Pegawai Negeri Sipil yang sehari-hari bertugas di Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta. Lahir di Jakarta, 31 Maret 1983. Tahun 1999, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 33 Jakarta, Tahun 2002 Lulus sekolah di SMU Negeri 26 Jakarta, Tahun 2004 sempat kuliah di Universitas Terbuka di jurusan Ilmu Pemerintahan dan Universitas Bung Karno di jurusan Ilmu Hukum. Sekarang masih kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara Jakarta di jurusan Manajemen Pembangunan Daerah menjadi anggota komunitas bisnis Maestro Muda Indonesia/Pandu Wirausaha dan Komunitas Tangan Diatas/TDA Jakarta Selatan. Berawal karir di Dinas Tramtib dan Linnmas Provinsi DKI Jakarta tahun 2004, diangkat menjadi CPNS tahun 2008 setelah itu diangkat menjadi PNS Satuan Polisi Pamong Praja tahun 2012, mulai membuka bisnis DEEP OF TEEN pada 5 November 2010, menjadi Supplier Trans Studio Februari 2011. Mulai mendapatkan beberapa penghargaan dalam bisnis yaitu ; sebagai Finalis Wirausaha Muda Mandiri Regional Jabodetabek kategori Industri Kreatif dari Bank Mandiri tahun 2011, sebagai Finalis Indigo Fellowship kategori Web Application dari PT. Telkom Indonesia tahun 2011, sebagai Pemenang Kategori Kewirausahaan dalam International Youth Muslim Creation dari International Muslim Summit Student di ITB pada Juli 2012, Juara 3 Lomba Inovasi Bisnis tingkat Nasional dari Kemenpora RI pada November 2012 dan Juara 2 Apresiasi Astra Socio Enterprenuer tahun 2012 dari PT. Astra International.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Doa Emak untuk Asa

20 April 2014   14:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13979545262089860826

Doa Emak untuk Asa

Hidup itu indah...ketika aku bersamamu, Emak

Buku ini kupersembahkan untuk :

Emakku  adalah Ibu terbaik  sedunia,

terima kasih cinta, kasih sayang dan ridhonya.

”Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

(QS. Al-Hadiid : 22-23)

Ia sangat tinggi menjulang, tepat di jantung ibukota negara. Di tengah-tengah Jakarta. Di tengah-tengah peradaban Indonesia. Di tengah-tengah kekaguman kami dari berbagai pelosok nusantara. Seperti permainan kemudi putar yang berputar di pasar malam, membuat tertawa riang anak-anak yang menaikinya, segala yang berada di atasnya pun ikut berputar. Kami ikut berkemudi putar.

Kami tiba di kota ini layaknya lebah yang mendatangi bunga-bunga yang memiliki madu. Terpesona akan cantik dan manisnya yang belum pernah kami lihat sebelumnya.   Tubuh dan jiwa kami bergerak bersama alunan kereta api listrik yang membawa kami keluar dari kampung terbiasa dengan banjir pada musim penghujan. Kami semua di tarik ke dalam sebuah bejana yang tak berujung, membawa takdir masing-masing yang tak pernah kami pahami dan  mengerti.

Pada bulan Maret 1993, Emak berkata. Tepat 34 tahun keberadaannya.

“Melihatnya seperti itu, tampaknya ia seperti kesepian dan sendiri. Berdiri tegak menghiasi kota pada siang dan mencoba menyinari pada malam, ia begitu tampak murung.”

Tapi menurutku,  justru karena itulah ia begitu dikagumi semua orang. Di ibukota yang terasa hampa ini, saat orang-orang memandang ke atas dan melihat ada bongkahan yang berkilau seperti emas dengan melihatnya berdiri tegak bersinar dengan penuh kehormatan, mereka akan merasakan adanya kekuatan luar biasa, penuh perjuangan sejarah bangsa dan memiliki daya tarik keindahan bagi siapa saja yang melihatnya.

Wahai anakku, Emak sudah mengalami manis dan getirnya kehidupan-perebutan paksa, pengkhianatan yang tak berujung, kekerasan dari kekejaman-merasakan kekaguman pada keindahan dalam  kesendirian dan keterpurukan  itu. Kami tidak dapat menahan air mata yang jatuh dari pelipis mata, kesedihan yang mendalam namun kita harus tetap berputar mengikuti waktu dalam jam sesuai dengan putaran porosnya, berputar membuat kita harus kuat dan menjalaninya dengan penuh kesabaran.

Semua orang berdatangan ke tempat ini. Mereka meninggalkan kampung halaman demi sebuah mimpi agar dapat tegak dan berdiri untuk membangun mimpi mereka, yang penuh pengharapan nan  suci di Jakarta ini.

Inilah kisah masa kecilku, bertiga dengan Bapak dan Emak yang asli dari Jakarta, berjuang bersama mereka yang memiliki jutaan orang-orang pemimpi yang datang dari kampung halaman.  Bapak yang terlupakan dari hingar bingar dan terhempas dari putaran kemudi putar, aku  datang dengan bertahan yang memiliki tujuan yang sama, namun bingung tak dapat berjuang melihat segala keadaan yang terjadi tapi aku tak dapat pergi kemana-mana. Sedangkan Emak dengan super kesabarannya, mencoba bertahan yang akhirnya harus berjuang  hingga tertidur letih di bantaran kali Ciliwung.

= #=#=#=

Pagi itu, di dalam sebuah kamar yang mungil dengan pemandangan langsung ke bantaran kali Ciliwung, kami bertiga tidur berdampingan dengan lelap. Banyak orang berkata bahwa mereka tidak terlalu mengingat hal-hal yang terjadi ketika mereka masih kanak-kanak. Namun, berbeda dengan aku, aku masih sangat ingat dan jelas. Aku seakan masih dapat mencium aroma udara yang menghinggapi sekeliling, serta membayangkan hal-hal yang terjadi pada saat itu. Mungkin karena aku hanya memiliki sedikit saja memori yang harus aku ingat dan alami apabila dibandingkan dengan orang lain.

Ingatan hingga usiaku menginjak umur tiga tahun, tentang Aku, Emak dan Bapak. Ingatan ketika kami harus kehilangan seorang Engkong yang kami cintai telah meninggal dunia tanpa harus aku mengerti, mengapa beliau pergi meninggalkan kami, sehingga dalam ingatanku hanya tersisa sekeping episode tersebut, saat kami masih memiliki senyum kebahagiaan dan keindahan dalam hidup yang utuh.

= #=#=#=

Gubrakkk !! bunyi pintu di dobrak membangunkan tidurku yang lelap. Emak yang tidur di sampingku di atas ranjang besi berwarna biru juga langsung terbangun dan terduduk termenung kaget. Sudah tengah malam, tak hanya anak-anak, orang dewasa pun tengah terbuai dalam mimpinya yang indah. Bapak pun masih terjaga dengan ketermenungannya yang tak berujung.

Dari arah pintu terdengar teriakkan seorang laki-laki memanggil nama Emak. Emak langsung berlari menuju depan pintu yang terdapat seorang laki-laki, tetapi dia segera kembali masuk ke kamar dengan wajah ketakutan dan pucat.

Emak langsung mendekapku sangat erat, seperti induk kucing betina yang memeluk anaknya karena terancam gangguan dari pengganggu. Dia membawaku setengah berlari ke balik almari.

Pamanku, kakak dari Bapakku, tanpa mengucapkan salam ataupun dengan mengetuk pintu, pamanku malah menendangnya. Pintu yang terbuat dari kayu dari beberapa lembar potongan tripleks dan kayu kaso direkatkan dengan paku ukuran 20 mili. Rusak dan ambruk daun engsel yang menyatukannya. Tanpa melepas sandal, Paman bergegas mengejar Bapak yang berlari menghindar, diselingi teriakan Nenek Kaimah. Seperti pasukan khusus anti teror yang ingin menyergap teroris. Dan hal seperti ini sering terjadi. Entah mengapa, aku tak mengerti mengapa Bapak menjadi sasaran Paman. Aku tak pernah habis berfikir.

Paman menarik paksa Bapak dari lamunannya yang penuh dengan kekosongan, Aku hanya bisa ketakutan di balik almari dalam dekapan Emak. Bapak sudah terpojok di sudut ruangan, kemudian menarik bungkusan dari plastik yang berwarna hitam, isinya ternyata seekor pecel lele goreng yang baru saja di goreng. Paman kemudian menjejalkan begitu saja ke mulut bapak.

Rupanya Paman ingin memberi oleh-oleh seekor pecel lele untuk adiknya yaitu Bapakku. Seumur hidupku itulah yang pertama aku melihat Bapak diperlakukan seperti itu, disuapi dengan paksa oleh Paman untuk makan. Paman pemabuk berat. Di bawah pengaruh alkohol dia selalu mengamuk tak beraturan, tak perduli dengan keadaan sekitarnya, siapapun bisa terkena bolgem mentah darinya.

Pintu rumah kami yang rusak diperbaiki oleh Emak beberapa hari kemudian. Dari pintu yang utuh dan rapih kini dibagian kanan tertutup bahan tripleks yang berbeda dari yang aslinya, seperti membentuk tambalan pintu layaknya ban bocor yang di tambal, sehingga pintu rumah kami tampak aneh.

Aku sering sekali menangis. Dan ketika aku menangis lama sekali. Bapak hanya bisa melihat dan tersenyum ketika aku menangis dengan terkadang ikut meneteskan air mata juga.  Emak selalu mendekapku dengan penuh kehangatan, Emak melarangku menangis, Emak tak ingin aku menjadi anak yang cengeng, walaupun aku masih berumur tiga tahun.

(BERSAMBUNG)

==============================================================================

DOA EMAK UNTUK ASA.

Sesungguhnya hidup itu memang indah...setidaknya  itulah yang aku rasakan dalam dekapan Emak yang selalu hangat.

Asa kecil tak pernah jauh dari Emak yang mengasuhnya dengan penuh kasih sayang dan cinta seorang diri. Namun, saat beranjak dewasa, karena tuntutan keadaan yang mengharuskan Asa untuk berjuang pergi meninggalkan Emak dan hidup berdikari di negeri orang.

"Ketika doa Emak, perjuangan yang meneteskan air mata demi Asa"

"Ketika cinta Emak, menguatkan alang rintang pada Asa."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun