Tulisan ini terinspirasi dari status seorang teman di facebook yang kurang lebihnya ia menuliskan hal seperti ini di dalam statusnya “Ada istilah orang bodoh dan orang pintar yang parameternya adalah nilai sekolah serta tingkat pendidikan itu sendiri, tetapi saya tidak sepenuhnya percaya ada yang namanya orang bodoh. Yang ada hanyalah orang-orang yang dibuat bodoh dan yang membuat bodoh ya sekolah itu sendiri. Contohnya Si Atung nilai matematikanya 3, Bahasa Indonesianya 5,5, Sejarah 6, Fisika 2. Maka ia dikatakan bodoh dan tidak naik kelas sampai akhirnya ia dikeluarkan dari sekolah. Ia sama sekali tidak menyukai rumus-rumus fisika dan hitung-hitungan lainnya, minat Atung pada dunia lukis maka dikemudian hari ia sukses menjadi seorang pelukis yang karya-karyanya terjual ratusan juta, pertanyaannya adalah bodohkah Atung?
Dari status teman saya tersebut, saya jadi berpikir bahwa manusia-manusia modern saat ini seringkali terjebak dalam sebuah pemikiran mengenai sekolah merupakan satu-satunya tempat belajar untuk mengupayakan kecerdasan, padahal belajar tidak melulu hanyalah apa yang ada di dalam buku atau di ruang kelas. Setiap realitas yang diciptakan Allah entah itu benda-benda langit, lautan, bumi, atau fenomena apapun selalu disertai dengan hikmah yang bisa dijadikan pelajaran untuk orang-orang yang mau berpikir, kita dapat belajar melalui realitas tersebut, mungkin itulah alasannya kenapa Allah sering menyebut kalimat Afalaa tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir) dalam akhir ayat-ayatNya. Seolah Allah menyuruh kita untuk berpikir ketika melihat suatu fenomena atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita.
Terlepas dari salah satu fungsi pendidikan untuk mencerdaskan seseorang. Sebenarnya setiap manusia sudah dianugerahi Allah sebuah potensi kecerdasan agar mampu menjalani peran dalam kehidupannya masing-masing. Manusia mempunyai akal yang dengan itu mereka gunakan untuk berpikir, untuk melakukan proses mengetahui yang itu adalah potensi kecerdasannya. Potensi kecerdasan setiap manusia sama, hanya tidak rata. Kecerdasan seorang pedagang akan berbeda dengan kecerdasan seorang ilmuan, akan berbeda lagi dengan kecerdasan seorang politikus atau seorang petani. Sebenarnya potensi kecerdasan mereka semua sama hanya peran hidup mereka saja yang seolah membuat kecerdasan mereka tampak berbeda. Begitu halnya juga dengan murid-murid yang berada di dalam suatu kelas di sekolah. Ada murid yang kecerdasannya terletak pada kemampuannya menghafal, ada yang terletak pada hal menghitung, menganalisis, menggambar, menulis dan lain sebagainya. Semua tak luput dari pemberian potensi kecerdasan yang telah dianugerahkan Allah terhadap masing-masing individu.
Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, Adjat ARS Endang menyebutk bahwa kecerdasan sebenarnya tidak hanya dimiliki manusia tetapi juga dimiliki oleh seluruh realitas ciptaan Allah. Hal tersebut dapat kita amati sejak sebuah atom, atau sel atau bagian kecil dari sel (membran sel, mitokondria, lysosome, apparatus golgi dan lain sebagainya), yang dengan fungsinya masing-masing melakukan tugas kerjanya secara akurat dan begitu presisif dalam mengolah zat-zat pembentuk menjadi berbagai molekul protein yang berguna bagi sel, binatang pun mempunyai hal yang demikian pula, seperti seekor singa, cheetah, dan hyena saat menangkap mangsa. Hingga kecerdasan yang dimiliki oleh pohon, gunung, matahari, bulan, bintang dan benda-benda angkasa lainnya saat mereka beraktivitas sesuai fungsi dan perannya. Semua itu adalah fakta, bahwa semua makhluk telah dikaruniai kesadaran. Khusus untuk manusia disebut kesadaran, sementara untuk makhluk lainnya disebut mentasi. Dan jelas bahwa kecerdasan berupa potensi yang senantiasa melekat di dalam kesadaran manusia atau mentasi jika pada makhluk lainnya.
Jadi pada hakikatnya manusia itu cerdas, tidak ada yang bodoh. Sebenarnya orang yang dibuat “bodoh” oleh sekolah itu bukanlah orang bodoh.
Sekolah hanya merupakan salah satu cara dari sekian banyak cara yang bisa kita gunakan untuk memberdayakan potensi kecerdasan kita. Yang wajib untuk kita adalah menuntut ilmu bukan wajib sekolah, itulah kenapa slogan pemerintah yang berjudul “wajib belajar sembilan tahun” akan saya tolak. Wajib belajar ya seumur hidup kita, dari kita lahir sampai di liang lahat. Jangan sampai sebuah sekolah mengkerdilkan harapan kita, hanya karena kita tidak dapat sekolah lantas itu menjadikan kita tidak mau untuk berpikir mengasah potensi kecerdasan yang sudah kita miliki padahal hikmah-hikmah Allah bertebaran di muka bumi, atau untuk kita yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah tetapi nilai-nilai belajar kita jauh dari kata wajar atau kita sering merasa tak menonjol dibandingkan dengan yang lainnya maka jangan minder karena itu artinya kita mempunyai potensi lain yang sekolah tidak mampu mengasahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H