Mohon tunggu...
Admiral Musa Julius
Admiral Musa Julius Mohon Tunggu... PNS BMKG -

Geoscientist | Indonesia | Meteorology Climatology and Geophysics Agency

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perubahan Iklim Terus Mengancam

19 April 2017   13:52 Diperbarui: 19 April 2017   14:09 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: empresaexterior.com

Perubahan Iklim selalu menjadi isu strategis dalam pembangunan berkelanjutan di dunia. Banyak negara telah merugi akibat dampak dari perubahan iklim. Termasuk Indonesia, banyak provinsi telah mengalami banjir dan kekeringan hingga menyebabkan gagal panen dan kekurangan air bersih. Perubahan iklim menimbulkan musim kemarau di Indonesia lebih panjang dan terjadinya kekeringan ekstrem di sejumlah tempat. Data Kementerian Pertanian tahun 2012 menunjukkan bahwa 272.925 Ha lahan padi di Indonesia terkena kekeringan serta 43.726 Ha diantaranya mengalami gagal panen. Kerugian ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan impor besar yang justru berpotensi makin memperburuk kualitas pangan Indonesia.

Ilmuwan tidak diam, berbagai kajian telah diujicoba untuk melatih kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap fenomena perubahan iklim. Sejumlah kekeringan di berbagai tempat menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk meningkatkan performa infrastruktur dan teknologi, serta yang terpenting adalah mental masyarakat. Kita harus merubah harapan dari 'semoga tidak lagi terjadi kekeringan' menjadi 'semoga masyarakat semakin cerdas menghadapi kekeringan'.

Bagaimana peredaran udara global dapat mempengaruhi kestabilan iklim Indonesia? Secara geografis, Indonesia berada di antara Samudra Hindia dan Pasifik yang dapat memicu sirkulasi massa udara di atmosfer dan sirkulasi air laut sehingga dapat menyebabkan migrasi ikan di laut pada waktu tertentu. Indonesia juga diapit oleh benua Asia dan Australia yang menjadikan Indonesia sebagai acuan pengamatan perubahan arah angin musim. Kemudian Indonesia juga terletak pada garis ekuator sehingga mengalami pemanasan maksimum sepanjang tahun dan mampu merubah kondisi cuaca dengan cepat. Hal itu didukung dengan fakta bahwa 70 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga mudah memicu banyaknya penguapan yang membentuk awan-awan potensi hujan.

Dari segi morfologi, Indonesia memiliki banyak pulau besar dan kecil dengan beragam ketinggian yang menandakan dominannya efek topografi. Indonesia juga memiliki banyak teluk dan selat yang dapat menimbulkan konvergensi atau pertemuan udara pada skala lokal yang memicu terjadinya angin kencang dan turbulensi. Lebih menarik lagi posisi pulau di Indonesia membujur dan melentang sehingga dapat menimbulkan sirkulasi angin timur dan barat. Garis pantai yang panjang di seluruh wilayah turut membuat dominasi pengaruh angin laut terhadap daratan Indonesia.

Forum Pengurangan Risiko Bencana Dunia (UNISDR) menyebutkan bahwa 95 persen kesuksesan penyelamatan saat bencana alam ditentukan oleh komunikasi. Kita bersyukur pelayanan masyarakat dalam rangka pengurangan risiko bencana telah cukup dirasakan. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kini tidak hanya sekedar memberi informasi musim, namun juga melatih masyarakat rentan agar memahami iklim. Pelatihan tersebut dinamakan Sekolah Lapang Iklim yang diadakan secara rutin. Pelatihan tersebut diharapkan mampu mengubah mental masyarakat dari sikap acuh menjadi peduli kepada bencana hidrometeorologis.

World Meteorological Organization (WMO) telah mengeluarkan maklumat “Forecasting Based Impact, Warning Based Risk” atau “Prakiraan Berbasis Dampak, Peringatan Berbasis Risiko”, misalnya informasi cuaca Lebaran untuk mengantisipasi jalan tergenang saat padatnya arus mudik. Untuk itu dalam menyampaikan informasi peringatan dini, BMKG mempertimbangkan risiko untuk daerah yang akan menerima pesan.

Armi Susandi dari ITB menyebutkan bahwa emisi terbesar karbon berasal dari kendaraan bermotor, pembakaran lahan, dan industri. Inovasi lainnya juga terus dilakukan, diantaranya adalah ITB bekerjasama dengan BMKG, Kementerian Petanian dan Kementerian Kelautan membuat website Sistem Informasi Masa Tanam untuk membantu petani.

Prof. Jatna Supriatna dari Universitas Indonesia (UI) menyebutkan bahwa perubahan iklim akibat pemanasan global disebabkan oleh gas rumah kaca yaitu CO2, CH4,N2O, HFC,dan lainnya. Disebutkan juga bahwa gas Metana (CH4) merupakan salah satu gas rumah kaca terbesar yang terperangkap. Gas tersebut banyak ditemui di sawah yang bersumber dari kotoran hewan dan pada industri yang menggunakan bahan bakar fosil.  Perubahan iklim perlu melibatkan bermacam sektor seperti ekonomi, kesehatan, sains, masyarakat, dan sebagainya. Konferensi Perubahan Iklim di Paris 2015 menetapkan kesepakatan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29%. Kesepakatan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia mengingat ketergantungannya terhadap bahan bakar fosil.

Bencana Lainnya Turut Mengancam

Gempabumi kuat melanda selatan pulau Sumba pada Jumat, 30 Desember 2016, pukul 05:30:19 WIB dengan kekuatan 6.2 dan kedalaman 98km. Beruntung gempabumi ini tidak menimbulkan tsunami, walaupun gempabumi berpusat di laut, karena kekuatannya tidak cukup kuat untuk membangkitkan perubahan di dasar laut yang dapat memicu terjadinya tsunami. Belum lama ini tangis kembali terjadi di tanah rencong, tepatnya di kabupaten Pidie Jaya dan lagi-lagi akibat bencana alam gempabumi. Gempabumi tersebut mengingatkan kita pada gempabumi dahsyat yang membangkitkan tsunami pada waktu hampir bersamaan di akhir tahun 2004 yang kita peringati pada saat ini. Beruntung gempabumi akhir tahun 2016 ini tidak berpotensi tsunami karena berpusat di darat sehingga korban yang berjatuhan jauh lebih sedikit daripada tsunami Aceh 2004.

Permasalahan banjir tahunan Jakarta juga masih sulit diselesaikan oleh jutaan warga cerdas di Jakarta. Megaproyek modifikasi cuaca, perbaikan saluran air, dan pembangunan waduk penampungan masih menjadi wacana namun sempat memberi harapan bagi warga Jakarta. Namun kita jangan selalu membebankan pemerintah dalam penanggulangan bencana banjir. Sebagai penduduk negara dua musim, maka hujan lebat tidaklah layak lagi dilupakan dan tidak diantisipasi efek buruknya.

Sutopo Purwo Nugroho dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjelaskan geopolitik bencana turut mempengaruhi global. Sebagai contoh kebakaran asap di Indonesia turut dirasakan negara tetangga Singapura dan Malaysia. Kemudian Siklon tropis di Filipina mempengaruhi Indonesia untuk turut mendonor bantuan. Statistik menunjukkan bahwa 95 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologis dan faktor penyebab bencana adalah kombinasi antara alam dan antropogenik dengan parameter berupa dampak Perubahan Iklim Global, Kependudukan, Lemahnya Penegakan Hukum, dan Degradasi Lingkungan dan Tata Ruang. Kerugian akibat bencana alam di Indonesia tahun 2014 sebesar 30 Triliun, diantaranya adalah kerusakan akibat banjir sebesar 5 Triliun.

Saut Sagala dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam kajiannya yakni Tata Ruang dan Perubahan Iklim menjelaskan bahwa tata ruang tidak hanya konsep spasial, namun juga kebijakan. Produk tata ruang yang dapat menjadi pertimbangan kebijakan diantaranya adalah Peta Risiko Genangan pada Pesisir suatu provinsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun