Mohon tunggu...
Admiral Musa Julius
Admiral Musa Julius Mohon Tunggu... PNS BMKG -

Geoscientist | Indonesia | Meteorology Climatology and Geophysics Agency

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Agenda Kebumian

5 September 2014   15:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:33 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14098805541211278473

Awal Juli 2014 mendatang kita akan memilih seseorang yang dipercaya untuk memimpin negeri ini selama 5 tahun kedepan. Nama-nama besar sudah kita kenali melalui berbagai media seperti Joko Widodo, Prabowo Subianto, Wiranto, Aburizal Bakrie, Gita Wirjawan dan lainnya. Masing-masing memiliki visi dan misi, rancangan program kerja, serta manajemen kepemimpinan yang tidak lagi diragukan. Ide-ide kebijakan yang mereka ungkapkan seakan mampu menghipnotis kita. Namun dari sekian rencana yang mereka ungkapkan di hadapan umum, jarang sekali kita dengar sektor yang sangat vital yakni pengembangan kualitas manajemen kebumian Indonesia, terutama pada subsektor manajemen bencana.

Calon Presiden kini dirasa kurang bisa mendefinisikan persoalan-persoalan vital yang sedang dialami dan akan terus dialami. Para calon Presiden seakan hanya memandang korupsi, penegakkan hukum, pengangguran, liberalisasi perdagangan, pemberantasan ormas, dan human trafficking sebagai persoalan negara. Mengutip pernyataan dari Marzuki Alie bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat mendefinisikan persoalan dengan baik. Disadari atau tidak, ancaman bencana kebumian Indonesia di masa mendatang akan menjadi mesin penghancur kesejahteraan penduduk Indonesia. Pemimpin di masa mendatang tidak boleh menutup mata akan fakta ini.

Harus kita sadari bahwa bencana alam di negeri Indonesia tidak bisa dihindari. Beragam bencana mengintai seluruh warga Indonesia seperti banjir, gempabumi, tsunami, tanah longsor, erupsi gunung api, cuaca ekstrim, kebakaran hutan, dan lainnya akan terus menjadi pencuri di malam hari bagi negeri ini. Tidak ada seorangpun ilmuwan bahkan pemimpin yang dapat memastikan bahwa Indonesia aman dari bencana sehari saja. Fakta ini membuktikan bahwa bencana alam mau tidak mau harus diminimalisir melalui manajemen yang terpimpin dan terfokus.

Statistik sederhana menunjukkan bahwa setiap tahun Indonesia selalu ditimpa dua kali gempabumi kuat, tsunami setiap dua tahun dan tsunami besar setiap sepuluh tahun. Masih kita ingat tsunami Aceh pada Desember 2004 lalu menimbulkan tewas dan hilangnya ratusan ribu jiwa di Indonesia serta kerugian materiil hingga angka 40 triliun rupiah. Gunung api aktif masih berdiri tegak di seluruh provinsi di Indonesia juga mampu memberi shocktherapy pada waktu yang tidak bisa diprediksi.

Permasalahan banjir tahunan Jakarta juga masih sulit diselesaikan oleh jutaan warga cerdas di Jakarta. Megaproyek modifikasi cuaca, perbaikan saluran air, dan pembangunan waduk penampungan masih menjadi wacana namun sempat memberi harapan bagi warga Jakarta. Namun kita jangan selalu membebankan pemerintah dalam penanggulangan bencana banjir. Sebagai penduduk negara dua musim, maka hujan lebat tidaklah layak lagi dilupakan dan tidak diantisipasi efek buruknya. Perlu digarisbawahi bagi para calon presiden, sangat naif bila bencana dijadikan keuntungan untuk aksi politiknya.

Khusus untuk banjir, informasi dari instansi terkait ada baiknya dimanfaatkan untuk langkah-langkah antisipatif meliputi adaptasi dan mitigasi bencana hidrometeorologis. Seperti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memberikan pelayanan informasi cuaca hingga peta-peta potensi bencana banjir yang dapat diakses secara langsung melalui website resminya. Setelah mendapat informasi tersebut, banyak hal yang dapat dilakukan, seperti pemerintah daerah dan masyarakat harus memperhatikan bangunan pengendali banjir (bendungan/dam atau sumur resapan) serta kondisi sungai. Untuk jangka pendek juga dilakukan pengerukan atau pelebaran sungai sebagai langkah antisipatif.

Energi dan Pangan

Selain itu ancaman faktor kebumian tidak hanya memberi persoalan bencana alam tapi juga mempengaruhi krisis energi dan kemandirian pangan. Tanpa kita sadari kini Indonesia sudah memasuki masa pendahuluan krisis energi, seperti misalnya beberapa tempat di Indonesia selalu mengalami masalah pemadaman listrik bergilir. Begitu juga sumber energi berupa minyak dan gas bumi akan segera menipis di tahun-tahun yang mendatang. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa industri minyak dan gas bumi di negeri ini lebih banyak dikuasai investor asing dan diperburuk lagi dengan perilaku korupsi para birokrat dan teknokrat di bidang minyak dan gas bumi. Masih ingat di ingatan kita kasus Kepala SKK MIGAS yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Khusus untuk krisis energi sebenarnya solusi terbaik adalah pengembangan energi terbarukan berupa potensi panas bumi (geothermal).  Indonesia sangat mampu mewujudkan pengembangan tersebut karena mempunyai sumber daya raksasa berupa banyaknya gunung api aktif yang bisa menjadi sumbergeothermal. Kembali kepada figur pemimpin yang terdahulu, konsep riset, regulasi dan investasi yang telah dijalankan sejak dulu belum mampu menjadi jawaban akan kebutuhan kemandirian energi Indonesia. Undang-undang Minerba cukup memberikan pembaharuan sektor energi namun belum dirasakan masyarakat golongan bawah. Tidak hanya energi, kesalahan regulasi pemerintah juga dirasakan bidang kehutanan dan kelautan yang ketiganya merupakan aset besar sumber APBN.

Di sisi lain Indonesia dihadapkan pada tantangan krisis ketahanan pangan yang diakibatkan perubahan iklim global. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir Indonesia terus mengimpor pangan. Diperkuat lagi dengan pernyataan Economics Intelligence Unit (EUI) dalam Dupont Media Forum di Singapura bahwaindeks ketahanan pangan Indonesia menempati posisi kelima dari tujuh negara yang dievaluasi. Data yang sangat memprihatinkan untuk disandangkan kepada negara yang dikategorikan sebagai negara kaya, subur, dan sumber daya alam melimpah. Fakta ini harus disikapi serius oleh pemimpin terpilih karena ketahanan dan kemandirian pangan Indonesia di masa mendatang masih dipertanyakan.

Mengapa peredaran udara global sangat mempengaruhi Indonesia? Secara geografis, Indonesia berada di antara Samudra Hindia dan Pasifik yang dapat memicu sirkulasi massa udara di atmosfer dan sirkulasi air laut sehingga dapat menyebabkan migrasi ikan di laut pada waktu tertentu. Indonesia juga diapit oleh benua Asia dan Australia yang menjadikan Indonesia sebagai acuan pengamatan perubahan arah angin musim. Kemudian Indonesia juga terletak pada garis ekuator sehingga mengalami pemanasan maksimum sepanjang tahun dan mampu merubah kondisi cuaca dengan cepat. Hal itu didukung dengan fakta bahwa 70 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga mudah memicu banyaknya penguapan yang membentuk awan-awan potensi hujan.

Dari segi morfologi, Indonesia memiliki banyak pulau besar dan kecil dengan beragam ketinggian yang menandakan dominannya efek topografi. Indonesia juga memiliki banyak teluk dan selat yang dapat menimbulkan konvergensi atau pertemuan udara pada skala lokal yang memicu terjadinya angin kencang dan turbulensi. Lebih menarik lagi posisi pulau di Indonesia membujur dan melentang sehingga dapat menimbulkan sirkulasi angin timur dan barat. Garis pantai yang panjang di seluruh wilayah turut membuat dominasi pengaruh angin laut terhadap daratan Indonesia.

Pemanasan global sebagai salah satu dari sekian banyak unsur perubahan iklim telah banyak mempengaruhi pertanian Indonesia.  Perubahan iklim menimbulkan musim kemarau di Indonesia lebih panjang dan terjadinya kekeringan ekstrem di sejumlah tempat. Data Kementerian Pertanian tahun 2012 menunjukkan bahwa 272.925 Ha lahan padi di Indonesia terkena kekeringan serta 43.726 Ha diantaranya mengalami gagal panen. Kerugian ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan impor besar yang justru berpotensi makin memperburuk kualitas pangan Indonesia. Masalah ini diperkuat dengan pemaparan Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization pada kunjungannya ke Indonesia Jumat (2/5) lalu bahwa 70% bencana di dunia disebabkan oleh perubahan iklim.

Agenda kebumian Indonesia tidak lagi dapat dipandang sebelah mata oleh presiden terpilih. Konsep kebumian di atas juga masih belum mewakili seluruh persoalan bencana yang mengancam ibu pertiwi. Seiring dengan berkembangnya teknologi, beragam bencana alam baru juga harus menjadi tinjauan khusus di Indonesia. Badai magnet dan penurunan kualitas udara menjadi bencana terbaru di abad 21. Rangkaian bencana tersebut kini belum terlalu dirasakan dampaknya, namun akan menjadi bencana besar ketika tidak dipahami dan diwaspadai hingga menjadi bencana makro.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun