Apa yang kalian lakukan jika bertemu orang asing dan tidak tahu bahasa ibu mereka? Tentu kita akan kesulitan mengungkapkan apa yang ingin kita utarakan. Alhasil kita menggunakan bahasa isyarat baik dengan tangan maupun wajah.
Mungkin di zaman serba digital seperti ini, kesulitan tersebut bisa sedikit diatasi hanya dengan membuka ponsel pintar lalu mengeklik aplikasi Google Translate dan semacamnya. Semua beres berkat teknologi yang semakin canggih.
Namun saya membayangkan, bagaimana nenek moyang kita berkomunikasi sementara Google Translate saat itu belum ditemukan.
Menurut Badan Bahasa Kemendikbud, setidaknya ada 718 bahasa daerah di seluruh Indonesia, belum termasuk dialek dan subdialek. Ini juga belum termasuk bahasa dari seluruh dunia apalagi bangsa kita terkenal dengan sebutan pelaut ulungnya, yang pasti mereka sering menemui orang-orang baru di seluruh penjuru dunia baik untuk berdagang atau sekadar berpetualang.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa penyatu pun belum diikrarkan bersama sehingga penduduk Indonesia zaman dulu pasti menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing, belum ketika mereka harus mengobrol dengan penduduk dari benua lain misalnya. Saya membayangkan betapa repotnya mereka.
Saya kemudian menemukan fakta mencenggangkan bahwa musik merupakan bahasa yang digunakan untuk menyampaikan ide dan aspirasi tersebut. Hal ini bisa dilihat dari pahatan berupa alat-alat musik di beberapa panel relief Candi Borobudur pada sekitar abad ke-8.
Lalu kenapa harus musik? Kenapa bukan pertunjukkan pantomim saja misalnya?
Musik sebagai Bahasa Universal
Saya pun jadi teringat akan aksi John Shepherd, seorang maniak Unidentified Flying Object (UFO) atau bahasa kerennya alien. Aksi John ini bisa dilihat dalam film dokumenter di kanal Netflix berjudul John Was Trying to Contact Aliens.
John, pria asal Michigan Utara Amerika Serikat ini membangun peralatan elektronik modern di rumahnya untuk memanggil alien di luar angkasa sana. Kecintaannya terhadap objek di luar angkasa membuat John sering disindir dan dihujat oleh warga dunia. John tidak patah arang, dia menggunakan seribu satu cara untuk mewujudkan mimpi sederhananya itu.
Nah, salah satu cara John adalah dengan mengirim musik untuk mengontak objek asing di luar angkasa sana seperti jaz, elektronik, kraftwerk, harmonia, reggae, afro beat, dan gamelan (musik asal Indonesia yang paling disukai John).
John berpendapat, musik adalah bahasa universal yang mewakili seluruh makhluk di alam raya ini. Saya sependapat dengan John soal ini, sehingga masuk akal juga jika nenek moyang kita memakai musik untuk berkomunikasi, bukan pantomim atau pertunjukkan tari misalnya.
Musik tidaklah mengenal batas bahasa dan daerah, karena musik diciptakan dari nada-nada. Meski saya tidak bisa berbahasa Spanyol misalnya, saya masih bisa merasakan secuil pesan dari musik Spanyol yang saya dengarkan.
Uniknya, nenek moyang kita sudah sadar akan hal ini beberapa abad silam sebelum bangsa Eropa berekspansi secara besar-besaran ke seluruh penjuru dunia untuk mencari rempah-rempah. Namun dari pahatan berupa alat-alat musik di panel relief Candi Borobudur justru ditemukan 45 jenis alat musik dari 40-an negara di seluruh dunia, termasuk alat musik dari Amerika Latin dan Eropa. Nah loh?
Ini membuktikan bahwa Candi Borobudur sudah menjadi wilayah kosmopolitan dan pusat musik dunia sebelum kapal mesin canggih ditemukan pada paruh pertama abad ke-18. Kemungkinan lain adalah bangsa kita yang pelaut ulung sudah mengawali penjelajahan ke seluruh benua di dunia lalu mendapat inspirasi untuk menduplikasikan alat-alat musik dari seluruh daratan yang dijelajahinya. Jika kemungkinan kedua sudah divalidasi dengan bukti kuat, maka kita sebagai generasi pelaut patut berbangga dan nantinya gerbang untuk menemukan fakta-fakta sejarah baru lainnya akan kebesaran bangsa kita semakin terbuka lebar.
Saya sebagai masyarakat awam, bukan ahli atau berlatar belakang Sejarah pun terkejut-kejut dengan kejutan demi kejutan dari Sound of Borobudur ini, melebihi rasa terkejutku ketika tahu bahwa Abbasiyah pernah meraih masa keemasan (Golden Age) satu abad setelah Borobudur di abad ke-8.
Sound of Borobudur, dari Pelajaran Sejarah Alternatif sampai Pertujukkan Rutin
Pelajaran bahasa asing memang kadang membosankan, tapi lebih membosankan lagi pelajaran Sejarah. Teman-temanku waktu SMA dulu menganalogikan pelajaran Sejarah sebagai dongeng pengantar sebelum tidur selain PKN atau Civic Education.
Setiap kali pelajaran Sejarah dimulai di kelas, teman-teman akan memasang buku sebagai bantal di atas meja. Guru akan bercerita panjang lebar dan para murid terbuai akan mimpi indahnya.
Sementara ketika study tour sekolah tiba, semua murid bukannya membaca setiap papan yang menunjukkan informasi pengetahuan, tetapi malah mencari spot bagus untuk berfoto. Tak jauh berbeda ketika lembaga kursus bahasa asing yang kita ikuti sedang mengadakan study tour, bedanya si tutor menyuruh kita mengobrol kepada bule untuk mempraktikkan ilmu bahasa asing kita. Padahal si bule pun sebenarnya ogah diganggu saat sedang berwisata.
Kedua jenis study tour tersebut sudah pernah saya jalani ketika SMA dulu dan keduanya juga persis di Candi Borobudur. Study tour bukannya dapat ilmu pengetahuan malah dapat stok foto menumpuk.
Saya kemudian membayangkan, bagaimana jika Sound of Borobudur ini dimasukkan ke dalam kurikulum Sejarah dengan memadukan musik, sepertinya akan mengasyikan. Kita tidak saja belajar jenis alat musik chordophone, idiophone, membranophone, dan aerophone yang termuat di panel-panel relief Candi Borobudur namun kita pun bisa merasakan seolah-olah sedang berada di zaman abad ke-8.
Kemudian pemerintah akan mengadakan lomba mempraktikan Sound of Borobudur antar SMA se-Indonesia setiap tahun. Lomba tersebut nantinya akan diadakan bersamaan dengan Olimpiade Sejarah misalnya. Akhirnya euforia pelajaran Sejarah akan semakin bergema sama halnya dengan pelajaran Sains atau Matematika.
Di samping itu, pertunjukkan rutin Sound of Borobudur tetap terus digelar. Jika tahun ini pemerintah Jawa Tengah menggandeng Purwa Tjaraka, Trie Utami, Dewa Budjana dan lainnya itu. Mungkin tahun berikutnya bisa menggundang lebih banyak lagi penyanyi hebat lainnya supaya lebih bervariasi dan vibes-nya tambah dapat.
***
Rasa bangga memiliki Candi Borobudur tak boleh luntur, tapi lebih dari itu, marilah terus bersyukur dengan berkreasi tanpa kendur. Biarkan musik saling menyatukan perasaan dengan bahasa universalnya. Candi Borobudur adalah simbol perdamaian dunia, oleh sebab itu kita dan generasi berikutnya perlu melestarikannya tanpa letih. Tak perlu pedang atau pasukan militer canggih untuk menguasai, biarkan dunia berharmonisasi dengan nada-nada indahnya tanpa perang atau konflik membara.
Tambahan, jika John Shepherd mengirim kontak berupa alunan musik Sound of Borobudur, kira-kira mereka bakal menyapa bumi tidak, ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H