Pilih kampus ibarat pilih pasangan hidup. Jika tidak cocok, kita akan menjalani hari demi hari dengan perasaan hampa. Kuliah akan membosankan dan pada akhirnya kita terpaksa pasang muka bahagia pada keluarga meski sebenarnya sebaliknya.
Sebagian orang yang merasa dirinya pinter, barangkali pilih kampus merupakan urusan sepele. Lain lagi bagi mereka yang merasa otaknya pas-pasan. Ini berlaku untuk kampus negeri favorit dengan pesaing yang membludak.
Seringkali PTN dijadikan ukuran keberhasilan siswa tingkat akhir. PTN pun sering diincar sampai-sampai lembaga bimbel berseliweran di mana-mana, menawarkan janji manis diterima PTN jika mengambil paket belajar khusus.
Ada sedikit anekdot, mereka kadang sering bilang, tak apa bukan jurusan yang diminati asal bisa masuk PTN. Jurusan yang kurang diminati ini kadang adalah jurusan dengan sepi peminat atau jurusan yang baru dibuka sehingga akreditasinya masih dipertanyakan.
Waktu kita disodorkan tiga pilihan, kita pun akan memprioritaskan urutan pilihan berdasarkan jurusan yang paling diminati. Sementara pada pilihan paling bawah adalah jurusan asal-asalan.
Tak sedikit teman saya yang begitu. Ketika saya S 1 dulu di kampus negeri pinggiran Jakarta, sebagian adalah mereka yang ditolak di pilihan pertama dan kedua. Pilihan ketiga dianggap pilihan yang penting diterima PTN.
Alhasil, mereka menjalankan kuliah dengan setengah hati. Ada pula yang tiba-tiba ikut seleksi lagi tahun depannya lalu meninggalkan kuliah yang sudah setahun dijalankan. Padahal itu sama artinya dengan buang-buang uang dan tenaga. Tapi tak apa, selama mereka bisa bermuara di PTN dengan jurusan yang diminati.
Lalu apa salahnya dengan PTS tapi di situ ada jurusan yang kita minati?
Sebenarnya sekarang ini PTS juga mampu bersaing dengan PTN. Sudah banyak PTS yang kualitasnya sebagus PTN. Seleksinya pun bisa dibilang ketat. Meski kalau sudah diterima kita harus menerima konsekuensi dengan biaya yang tidak murah.
Kalau begini, mending PTS dengan jurusan yang diminati atau PTN dengan jurusan asal-asalan?