Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Susah Sinyal, Apa Kabar Belajar Daring di Muncang Lebak?

20 April 2020   19:21 Diperbarui: 20 April 2020   19:21 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat menjadi relawan pengajar di Pasirnangka Muncang Lebak dengan belajar di luar kelas, sumber: dokrpi

Lama tak ada kabar tentang Muncang, sebuah berita tentang Muncang membuat saya terheran. Pasalnya, seorang mahasiswa IPB yang tinggal di desa Sindangwangi kecamatan Muncang harus naik bukit supaya dapat sinyal untuk kuliah daring.

Desa Sindangwangi itu bisa dikatakan lebih dekat ke pusat kecamatan ketimbang dengan desa Pasirnangka. Dulu, salah satu tim juga ada yang ditempatkan di desa itu. Lantas, bagaimana pula dengan desa Pasirnangka dan Pasireurih yang lebih jauh lagi posisinya ke pusat kecamatan.

Boro-boro sinyal, kebanyakan dari mereka juga tidak memiliki ponsel pintar. Ponsel bagi mereka adalah ponsel jadul yang hanya bisa buat SMS dan menelpon saja. Ponsel pintar masih dianggap barang mewah di sana.

Dulu, ketika saya menampilkan video di laptop saja, mereka sangat kegirangan. Saya tidak menganggap mereka katrok. Karena bagaimanapun juga, banyak hal dari penduduk desa yang membuatku kagum dengan mereka.

Mereka sangat jago dalam urusan bersosialisasi, jago dalam urusan berbagi dan sangat peka terhadap sesama. Ketika ada tetangga yang meninggal, semua penduduk desa ramai-ramai datang ke rumah duka. Tanpa dikabari lewat pengeras suara, mereka sudah datang lebih awal.

Desa Pasirnangka memang tidak begitu luas. Tapi saya kagum, mereka hafal semua nama tetangga mereka. Saya merasa bakat hafalan saya kalah jauh dari mereka.

Saya juga sering dikirimi berbagai macam buah oleh mereka mulai dari durian, umbi-umbian dan banyak lagi. Saya juga sering diajak ngaliwet oleh mereka. Diajak ke curug/air terjun dan diajak naik truk. Semuanya bersaudara dan semuanya saling peduli satu sama lain.

Jika mereka bersekolah lewat online, rasanya mustahil. Selain karena sinyal, jumlah guru juga masih terbatas. Guru yang berstatus sarjana saja tak lebih dari lima orang. Sisanya masih nyambi kuliah dan ada pula yang masih lulusan SMA.

Meski begitu, mereka tidak perlu khawatir akan persediaan makanan ketika Covid-19 datang. Di mana-mana banyak tumbuh-tumbuhan, tanaman, pohon yang subur. Tinggal ke kebun, semuanya ada. Di sungai, ikan besar-besar. Dan di sawah, padi melimpah ruah. Hanya saja susah sinyal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun