Sepenglihatan saya, tidak ada calon penumpang dengan suhu badan tinggi. Ini membuktikan bahwa calon penumpang taat peraturan. Di sekitar area stasiun juga disediakan tempat mencuci tangan dengan sabun. Seluruh calon penumpang diimbau petugas untuk cuci tangan terlebih dahulu sebelum mengantre pemeriksaan tiket.
Sayangnya, beberapa penumpang masih ada yang tidak memakai masker. Pembagian masker gratis juga tidak ada di sekitar stasiun. Setidaknya beberapa dari mereka menutup mulut dengan kain seadanya.
Setelah semua selesai, calon penumpang bisa masuk ke dalam gerbong kereta. Di sinilah pengalaman mengharukan itu datang.
Saya duduk di kursi yang bersebelahan dengan seorang ibu muda dengan anaknya yang masih berusia sekitar dua tahun. Ibu tersebut berasal dari sebuah kota kecil dekat Surabaya. Ibu itu secara rutin datang ke Jakarta untuk mengantarkan buah hatinya kontrol dan berobat di rumah sakit jantung.
Ibu itu tidak sendirian, ada banyak orang tua yang harus bolak-balik ke Jakarta untuk cek, kontrol dan berobat. Apalagi bagi mereka yang memiliki penyakit serius seperti kanker, jantung, dan penyakit lainnya. Sementara rumah sakit rujukan berpusat di Jakarta.
Seorang anak kecil yang duduk bersama ibunya itu memiliki penyakit jantung. Sebelumnya anak itu sudah melakukan operasi jantung kecil dan harus melakukan operasi lagi. Sayangnya, rumah sakit disibukkan dengan Covid-19 sehingga banyak jadwal operasi yang ditunda.
Banyak orang tua dan pasien yang merasa khawatir. Padahal ada banyak penyakit yang lebih berbahaya dari Covid-19. Mereka pun terkena imbasnya. Mereka harus bersabar sedikit dan berhati-hati supaya tidak tertular virus.Â
Jika mereka yang sebelumnya sudah membawa riwayat penyakit serius ini terjangkit Covid-19 maka akibat fatal bisa saja terjadi. Serba membingungkan dan membutuhkan pengertian yang lebih memang.
Penumpang sebelah saya lainnya juga mengalami kisah mengharukan. Ia seorang bapak tua yang terkena PHK akibat pembatasan karyawan di pabrik tempatnya bekerja akibat pandemi corona.Â
Bapak itu memilih kembali ke kampung halamannya di Sulawesi. Untuk menghemat pengeluaran, bapak itu naik kereta api ke Surabaya lalu disambung naik kapal ke Sulawesi dari Surabaya.
Sembari menunggu kapal, bapak itu mencoba peruntungan di Surabaya sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya. Langkah ini dilakukan karena bapak tua itu memiliki saudara di Surabaya. Sementara jika bapak tua itu masih menetap di Jakarta maka yang ada adalah pengeluaran malah akan minus.