Memperingati hari Valentine memang menjadi perdebatan panjang sejak dulu. Banyak orang yang tidak setuju adanya Valentine karena representasi dari budaya Barat.Â
Valentine selalu diidentikkan dengan pacaran dan bermesra-mesraan, iya kalau dengan pasangan sah, namun kebanyakan dengan pasangan yang tidak sah secara hukum. Maka tak heran Valentine disebut sebagai hari yang sarat akan pergaulan dan seks bebas.
Lupakan soal kontra hari Valentine, saat ini saya akan lebih membahas tentang perilaku perusahaan dalam memanfaatkan momen Valentine. Meski banyak yang kontra, hari Valentine ini digunakan untuk meraup untung karena pasti banyak juga orang yang pro terhadap hari Valentine. Valentine seperti hari sakral yang bisa mereka gunakan untuk mengungkapkan perasaan mereka.
Tak ayal, banyak perusahaan memutar otak mereka. Karena banyak pasangan membutuhkan hadiah terutama cokelat dan bunga, maka perusahaan tersebut membuat diskon besar-besaran mirip seperti saat hari raya keagamaan.
Sewaktu saya sedang berada di stasiun Manggarai, saya menemui beberapa orang dari perusahaan X sedang menawarkan promo cokelat. Harga yang ditawarkan memang sangat menggiurkan. Jika kita membeli cokelat tersebut di supermarket maka harganya bisa mencapai 20 ribu rupiah, sementara jika kita membeli di sana maka harga yang ditawarkan hanya 13 ribu rupiah dengan produk dan berat yang sama.
Tak hanya diskon, perusahaan X itu juga menawarkan hadiah berupa earphone gratis jika membeli satu paket. Satu paket berisi tiga cokelat. Alhasil banyak orang tergiur untuk membelinya termasuk saya.
Saya seperti terhipnotis dengan diskon besar itu. Saya tidak memikirkan bahwa saya sedang tidak punya pasangan, jadi buat apa cokelat banyak-banyak. Saya juga hidup di tanah rantau yang jauh dari keluarga, jadi buat siapa cokelat itu.
Saya memasukkan cokelat ke dalam tas lalu melihat earphone gratis yang diberikan saat promo. Ngomong-ngomong kenapa saya tergiur dengan earphone padahal saya baru saja membelinya beberapa hari yang lalu bahkan saya sudah punya dua- yang satu normal, yang satu lagi hanya earphone sebelah kanan yang berfungsi. Total saya jadi punya tiga earphone.
Beberapa bulan lalu saya membaca buku Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay. Saya terhipnotis dengan kata-kata ajakannya agar kita membeli apa yang kita butuhkan, tidak mudah tergiur dengan diskon atau promo besar-besaran karena memang kita tidak begitu membutuhkannya. Kita malah akan pusing, mau ditaruh di mana barang-barang itu, yang ada malah membuat ruang semakin sempit karena semua barang ada tempatnya masing-masing.
Setelah bulan berlalu dari membaca buku itu, saya kembali ke kebiasan lama, tergiur dengan diskon dan promo. Saya beranggapan, lumayan dapat earphone seharga lima belas ribu gratis. Saya lupa bahwa barang itu malah akan memenuhi ruang di tas saya. Saya juga akan kesulitan merawat barang tersebut karena terlalu banyak yang saya miliki.
Kini saya kembali membaca buku itu. Saya ingin terhipnotis lagi dengan slogan streamline (mempersingkat/menyempitkan) yang bertujuan untuk memaksimalkan ruang, memiliki banyak waktu dan energi serta menjaga segala sesuatu agar tetap rapi. Saya tahu konteks buku tersebut ditujukan pada rumah namun saya kira juga berlaku pada semua tempat yang menyimpan barang seperti tas.