Polemik legalisasi ganja seperti tidak ada habisnya. Banyak yang pro dan tidak sedikit pula yang kontra. Namun tetap saja hingga kini peredaran ganja masih dilarang. Alhasil, si pihak kontralah yang menjadi pemenangnya.Â
Di berbagai negara, komoditas ganja dijadikan pundi-pundi uang. Peminat ganja pun tidak sedikit. Ganja tidak melulu soal narkotika karena ganja bisa juga digunakan sebagai bahan obat-obatan. Namun di Indonesia, akan sangat sulit memanfaatkan ganja karena sudah terlanjur dengan label haramnya.Â
Padahal jika Indonesia berhasil mengekspor ganja, sudah barang tentu akan banyak lapangan pekerjaan dibuka terutama di Aceh. Lihat saja, ganja seperti tanaman rumput yang sangat mudah tumbuh subur. Sayangnya, setelah tumbuh subur, ganja disita dan diberi garis polisi karena lagi-lagi sudah terlanjur dilabeli haram.Â
Kalau kedapatan membudidayakan ganja pasti akan berurusan dengan pihak berwajib. Tak peduli membudidayakan dalam skala kecil ataupun besar-besaran. Seperti salah satu mahasiswa yang mencoba membudidayakan ganja di kamar kosnya. Mahasiswa berinisial YÂ di salah satu PTN di Purwokerto itu sebenarnya memang salah karena selain dijual, ia juga mengonsumsi sendiri (dihisap sebagaimana rokok untuk efek fly).Â
Lain Y, lain lagi LGN atau Lingkar Ganja Nusantara. Komunitas yang bergerak untuk mengampanyekan legalisasi ganja itu bermarkas di kawasan wisata Situ Gintung Ciputat tak jauh dari kampus saya ketika kuliah S 1 dulu.Â
Ketika saya ada acara di Situ Gintung, saya selalu bertanya-tanya, apa benar ganja itu banyak manfaatnya ketimbang kerusakannya?Â
Saya tahu bahwa tidak mudah agar ganja bisa dilegalisasi. Tentu ada kelompok agamis dan konservatif yang menentang keras hal tersebut karena sangat rawan disalahgunakan. Beda halnya dengan kelompok LGN yang tetap positif memandang ganja yang bisa bermanfaat bagi dunia medis.Â
LGN tak sendiri, ada wadah bernama Global Marijuana March (GMM) sebuah perayaan untuk memperingati hari perjuangan legalisasi ganja di seluruh dunia. Aksi long march ini bertujuan agar banyak masyarakat tersadar bahwa bukan salah ganja jika disalahgunakan tetapi salah pada pengawasannya saja.Â
Ganja tetap bisa bermanfaat jika dibuat bahan obat-obatan di sisi lain ada kontrol dari atas supaya ganja tidak dinikmati selain untuk medis. Sebenarnya ganja tak hanya bermanfaat bagi medis saja tapi juga pada cita rasa kuliner.Â
Di Aceh, ganja sudah biasa digunakan sebagai penyedap rasa sebelum micin merajalela. Kerajaan-kerajaan di sana menggunakan ganja untuk makanan agar aroma dan rasanya jauh lebih lezat. Jika sudah begini adanya, sayang sekali jika ganja yang sudah tumbuh dibuang begitu saja. Apalagi jika berhektar-hektar.Â
Andai saja ganja diekspor, sudah pasti pundi-pundi rupiah akan mengalir deras ke saku pemerintah pusat maupun daerah. Lagi-lagi karena terbentur aturan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana memasukkan ganja termasuk bagian biji, buah, jerami dan olahan ganja sebagai barang terlarang. Bagi yang melanggar UU tersebut, siap-siap saja mendekam di penjara meskipun tujuannya mulia ingin membuka lapangan pekerjaan di pabrik obat yang terbuat dari ganja.Â