Berita tentang kasus penipuan yang dilakukan Keraton Agung Sejagat ini masih hangat dibicarakan publik. Kerajaan yang mengaku sebagai turunan titah Majapahit ini bermarkas di Purworejo dengan pengikut yang mencapai ratusan orang. Sebelum KAS berdiri sudah ada kerajaan-kerajaan serupa seperti Kerajaan Ubur-Ubur dan Kerajaan Lia Eden.
Ketiga kerajaan tersebut sama-sama ilegal dan melanggar hukum di Indonesia. Tapi sangat jarang yang mau melihat dari sisi si korban, kenapa korban dengan mudah terbujuk dengan rayuan gombal dari ketiga kerajaan abal-abal tersebut.
Pertama, kita bedah KAS terlebih dahulu. Kerajaan yang dipimpin oleh Toto Santoso ini mengaku bahwa kekuasaanya berskala global. Beberapa dokumen dari PBB dimanipulasi seolah-olah ingin membuktikan bahwa keberadaan mereka diakui oleh dunia.
Toto pun dengan mudahnya mengelabuhi korban dengan iming-iming gaji yang tinggi berbentuk dolar jika mau menjadi pengikutnya.
Para pengikut Toto yang berhasil didoktrin ini rela membayar uang pendaftarannya yang bervariasi mulai dari 3 juta sampai 100 juta. Semakin tinggi jabatan maka semakin besar pula biaya pendaftarannya. Mereka tidak tahu bahwa cara tersebut sudah terdeteksi aksi nepotisme.Â
Mereka tidak peduli asalkan dapat gaji apalagi jabatan. Mereka juga masa bodoh tanpa mengecek validasi kerajaan yang tiba-tiba ada. Semuanya sangat instan, tidak perlu repot-repot buka warung atau daftar CPNS. Bukankah yang instan-instan selalu menggoda?
Kedua, berbicara tentan Kerajaan Ubur-Ubur maka kita akan membayangkan Patrick dan Spongebob yang suka berburu ubur-ubur. Tapi lain lagi dengan Kerajaan Ubur-Ubur yang bermarkas di Serang.
Siapa sangka Kerajaan Ubur-Ubur ini tak jauh berbeda dengan KAS yang menipu masyarakat dengan cerita-cerita bualannya. Cerita-cerita itu akan menghipnotis warga yang rendah literasi.Â
Bukan hanya sebatas literasi, para warga yang kepincut juga sebenarnya ingin mendapatkan sesuatu yang instan dalam sekejap mata.
Kerajaan yang dipimpin oleh seorang perempuan penganut paham feminisme ekstrem itu mengadakan ritual untuk bisa membuka rekening bank secara ajaib dari luar negeri. Belasan warga pun tak mau ketinggalan dalam mengikuti ritual abal-abal tersebut.Â
Setelah diproses secara hukum, belasan warga jadi sadar bahwa untuk menjadi kaya tidak cukup dengan ritual saja apalagi Kerajaan Ubur-Ubur ini sudah dianggap melecehkan agama Islam. Kerajaan pun bubar pada 2018 silam.Â
Ketiga, Kerajaan Lia Eden yang menganggap dirinya sebagai Tuhan ini menggemparkan warga. Lia Eden yang sudah dipenjara pada 2006 itu kembali berulah setelah menghirup udara bebas. Pengikutnya pun masih setia meski Lia Eden dicap sebagai bekas Napi.
Pengikut Lia Eden pun sama-sama menyukai hal yang berbau instan. Katanya, dengan mengikuti perintah dan ajarannya maka mereka bisa mudah masuk surga. Begitu instannya untuk mendapatkan tiket surga hanya dari sebuah bualan seorang wanita tanpa perlu berbuat kebaikan dan ketertiban di masyarakat.
Pepatah pernah mengatakan bahwa untuk mencapai tangga kesuksesan atau kebahagiaan, tidak cukup hanya dengan cara sekali pakai. Tidak ada di dunia ini yang tercipta dengan instan, bahkan untuk masak mi instan saja kita tetap butuh kompor dan air, tidak ujug-ujug jadi, apalagi untuk bisa kaya atau masuk surga.
Miris memang, mereka yang menyukai hal-hal instan hanya ingin menikmati tanpa usaha yang berarti. Kondisi ini jika terus dipelihara dan dibiarkan maka bisa jadi akan bermunculan kerajaan-kerajaan lain yang serupa yang mana selalu menawarkan kemudahan secara instan dengan bualan-bualan cerita dari si pendirinya.
Sementara si pendirinnya tertawa ria di balik topeng karena mendapat wibawa dan uang berlimpah dari para korbannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H