Tak seperti kerajaan pada umumnya yang memiliki istana megah dan arsitektur indah peninggalan pendahulunya. Kerajaan Keraton Agung Sejagat (KAS) hanya berupa rumah sederhana di desa yang mana interior di dalamnya tak ubahnya seperti aula Balai Desa, persis seperti waktu Filipina menggelar konferensi pers Sea Games 2019 silam.
Hanya sedikit negara atau kota yang masih menerapkan sistem kerajaan karena sistem kerajaan dinilai sebagai bentuk dari autokrasi di mana yang bisa menjadi pemimpin hanya dari kalangan ndalem atau keturunan kerajaan saja. Nah, Kerajaan Keraton Agung Sejagat (KAS) yang berlokasi di Desa Pogung Jurutengah Kecamatan Bayan Purworejo ini tak tanggung-tanggung mengaku bahwa kekuasaan mereka berskala global di tengah pesatnya perkembangan zaman 4.0. Negara atau kota yang lama menerapkan sistem kerajaan saja masih banyak diprotes apalagi yang baru muncul.
KAS menjadi satu-satunya kerajaan di dunia yang cukup nyentrik dan aneh. Kerajaan ini muncul atas klaim sepihak. Meskipun mereka mengaku sebagai penerus Kerajaan Majapahit, tak ada satu pun bukti yang memperkuatnya. Kalau toh sebagai penerus Kerajaan Majapahit kenapa tidak berlokasi di Mojokerto justru malah ngumpet di desa.
Keanehan KAS semakin berlanjut. Para penjaga istana memakai seragam selaras satu sama lainnya, dibalut dengan topi gagah bak tentara. Dari mana mereka membuat seragam-seragam itu? Apakah seragam itu diberikan secara gratis atau si pegawai kerajaan wajib iuran untuk membuat seragam? Karena biasanya sebuah kerajaan pasti memiliki badan usaha tersendiri untuk menghidupi kerajaan sementara KAS tidak memiliki apa-apa.
Adalah Totok Santoso Hadiningrat yang mengaku sebagai raja KAS sementara istirnya, Dyah Gitarja diklaim sebagai ratu. Jika ada sebuah kerajaan di desa, lalu fungsi kepala desa dan bupati sebagai apa? Kecuali jika kerajaan tersebut benar-benar diakui seperti Keraton Solo atau Yogyakarta. Apalagi KAS menganggap dirinya sebagai kerajaan global, lah kalau begitu negara-negara lain dianggap sebagai apa?
Rentetan keanehan-keanehan berlanjut. Di mana warga merasa terganggu dengan aktifitas KAS yang suka bernyanyi keras di malam hari. Kalau kerajaan itu merupakan kerajaan sah, harusnya warga menyambut gembira apa yang dilakukan oleh kerajaan di daerahnya. Syarat penting dari sebuah kerajaan adalah pengakuan dari rakyatnya. Namun jika rakyatnya saja merasa bukan rakyatnya, lalu di mana rakyat-rakyat KAS?
Usut punya usut, rakyat KAS yang merangkap sebagai pegawai istana itu mayoritas berasal dari luar daerah bahkan si raja pun bukan dari Purworejo. Ini menunjukkan bahwa KAS sama sekali tidak memiliki pengakuan sah dari warga Purworejo. Lalu bagaimana mereka bisa datang jauh-jauh ke Purworejo kalau tidak ada sesuatu yang janggal?
Totok Santoso Hadiningrat (nama aslinya Toto Santoso) dan pasangannya Dyah Gitarja (nama aslinya Fanni Aminadia) ini mungkin ingin terlihat berwibawa sebagaimana pasangan raja dan ratu pada umumnya. Apakah kedua pasangan ini melakukan penipuan sehingga ratusan pengikutnya mau mengakui sebagai raja dan ratu?
Akhirnya tak lama berdiri, KAS mulai runtuh setelah tercium bau-bau kriminal di dalamnya. Beberapa dokumen palsu disita polisi guna melakukan penyelidikan lebih lanjut sementara Toto dan Dyah masih diamankan kepolisian setempat.
Jika kerajaan lain hancur karena serangan musuh dari luar atau karena intrik internal kerajaan, maka KAS ini hancur karena ditangkap polisi atas kasus penipuan. Kasus ini pun masih berlanjut sampai ditemukan titik terang. Jika memang terbukti melakukan penipuan maka KAS hampir serupa dengan Dimas Kanjeng. Bedanya, KAS berkedok sebagai kerajaan sementara Dimas Kanjeng berkedok agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H