Sebuah kebiasaan laten di Indonesia di mana kasus besar akan terus diekspos media, setelah hilang dari permukaan media karena kasusnya sudah kedaluwarsa, kasus besar tersebut terulang kembali. Evaluasi dilakukan hanya saat kasus diekspos besar-besaran oleh media, setelah itu minim pencegahan.
Lihat saja, kasus Salim Kancil bukan yang pertama kali terjadi di negeri tercinta ini. Deretan kasus memilukan seperti tragedi 1965, pembunuhan Munir, dan yang terbaru penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Biasanya kasus tersebut melibatkan mereka yang memiliki tahta dan harta melimpah. Para saksi dan korban pun tak ada pilihan lain selain diam agar dirinya aman.
Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pun yang paling rentan terjadi di daerah-daerah. Seperti dalam kasus Salim Kancil, tak sedikit saksi yang mengetahui kebejatan kasus tersebut, namun lagi-lagi mereka tidak punya pilihan lain selain diam karena para tersangka KKN biasanya memiliki anak buah yang cukup kuat. Mau mengadu pun tidak tahu-menahu kepada siapa, bisa-bisa kalau ketahuan maka algojo siap menghajar.
LPSK punya PR besar dari kasus ini, di mana LPSK jangan hanya fokus di kota-kota besar saja tetapi juga berani menjangkau sampai ke pelosok desa. Minimnya sosialisasi dan informasi yang didapatkan oleh warga di desa menjadi akar permasalahan utama.
Banyak warga desa yang sudah tua tidak mengenal ponsel pintar, menyentuhnya pun belum pernah sama sekali seperti yang dialami Salim Kancil. Sementara anak mudanya sudah mulai geliat menggunakan ponsel pintar. Dari sinilah peran yang muda untuk memberikan informasi keberadaan LPSK kepada yang sudah tua.
Masalah selanjutnya, apakah informasi LPSK sudah sampai kepada mereka yang memegang ponsel pintar di desa-desa. Belum tentu juga ada jaringan internet di daerah tersebut. Kalau sudah begini lantas bagaimana?
Era teknologi digital memang sangat membantu dalam segala urusan. Namun bukan berarti kita melupakan mereka yang masih kesulitan mengakses jaringan internet.
Untuk mengoptimalkan pemenuhan hak saksi dan korban di daerah-daerah, bisa dilakukan dengan cara berkoordinasi bersama polsek dan polres, bekerja sama dengan mitra hukum di daerah, institusi pendidikan di desa, dan tokoh masyarakat yang mendapat kepercayaan penuh dari warga desa.
Selain itu, sosialisasi juga sangat perlu dilakukan agar informasi LPSK bisa sampai ke seluruh penjuru desa di Indonesia. Untuk yang satu ini memang agak sulit, mengingat jumlah desa di Indonesia tembus angka puluhan ribu. LPSK bisa menyiasatinya dengan pertemuan khusus bersama setiap perwakilan dari pemprov. Nantinya perwakilan provinsi yang melanjutkannya kepada daerah yang diwakilkan. Lebih efisien lagi jika LPSK memiliki kantor perwakilan sendiri di setiap provinsi.
Wacana membuka kantor perwakilan memang sudah ada. Namun baru ada 12 kantor perwakilan yang bakal digarap dalam waktu dekat. Semoga dengan kepemimpinan baru LPSK 2018-2023, kantor perwakilan tersebut bukan sekedar janji manis belaka. Tak hanya 12 kantor perwakilan yang digarap tapi juga merata ke seluruh provinsi di Indonesia.
Dan yang lebih penting, siapapun nanti presidennya, semoga iktikad baik ini bisa dilanjutkan bukan malah diabaikan begitu saja. Apalagi pilpres tinggal menunggu bulan saja.