Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Hukum

LPSK Hadir Bersama Para Penyintas Korban Seksual

19 November 2018   17:29 Diperbarui: 19 November 2018   17:35 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus pelecehan seksual kerap kali terjadi tanpa diduga-duga. Di mana dan kapan saja kejahatan yang melanggar asusila itu akan terjadi bukan karena niat sang pelaku melainkan kesempatan yang terbuka lebar-lebar.

Jika sudah terjadi tindak asusila, sang korban tentu merasakan rasa trauma, entah trauma fisik maupun psikis. Banyak dari mereka harus menjadi penyintas, harus melalui hari demi hari bahkan bulan demi bulan dengan perasaan terluka. Mau melapor, kurang bukti dan merasa malu. Mempunyai bukti pun belum tentu si pelaku dihukum.

Kejadian yang dialami AG mahasiswi UGM salah satunya. AG mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari rekan KKNnya. Kejadian tersebut dianggap selesai karena keduanya dinilai suka sama suka. Tak sampai di situ, AG juga disalahkan karena membuka kesempatan bagi sang pelaku untuk melakukan tindakan pelecehan. AG merasa bahwa kejadian itu terjadi bukan karena kemauannya. Akhirnya tak ada pilihan bagi AG selain berusaha menutup-nutupi kejadian memilukan itu.

Tapi kondisi psikis AG tidak bisa ditutupi. Kerap kali AG merasa trauma dan takut. Ia pun menjalani hari demi hari bahkan bulan demi bulan untuk berdamai dengan rasa sakit dan malu sementara pelaku bisa bebas, bahkan tersirat berita bahwa pelaku sudah menerima toga kelulusan dari kampus kerakyatan itu.

Kasus AG hampir serupa dengan Kasus BN, bedanya BN merupakan korban pelecehan secara verbal. Namun entah verbal atau bukan, di mata hukum itu sama saja dengan kejahatan asusila.

BN berdalih untuk menjaga diri maka ia merekam si pelaku pelecehan ketika sedang melecehkan dirinya dan rekannya. Naas nasib si BN, ia justru harus berurusan dengan hukum atas dugaan pelanggaran UU ITE. Si pelaku pun bebas, malah tersirat kabar kalau si pelaku mendapatkan kenaikan pangkat.

Guru dari salah satu sekolah di Mataram itu tak punya pilihan lain selain berharap agar ia bisa bebas.

Di Indonesia, kasus seperti AG dan BN tidak sedikit. Pasalnya banyak pula kasus yang tidak terekspos media karena korban merasa bahwa yang bisa dilakukan olehnya hanya diam. Penyintas takut karena ancaman dari pelaku atau dianggap bahwa dirinya melakukan tindakan demikian atas dasar suka sama suka padahal kenyataannya tidak sama sekali.

Diam bukanlah solusi karena bisa jadi si pelaku melakukan hal serupa dengan orang lain. Untuk mencegahnya, tentu harus ada tindakan hukum yang tegas agar si pelaku jera. Hukum pun harus ditegakkan seadil-adilnya.

AG dan BN sebenarnya bisa melapor kepada LPSK. Saksi dianggap sebagai tamu penting di mana semua rahasia akan aman di tangan LPSK bahkan saksi pun bisa mendapatkan jaminan keamanan dari lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

AG memang tidak melapor pada LPSK, tapi kini justru LPSK yang berusaha melaporkan kasus AG. LPSK siap hadir memberikan layanan bagi si penyintas baik fisik, hukum, maupun rehabilitas.

Lantas bagaimana dengan kasus BN, akankah LPSK juga memberikan layanan serupa dengan AG? Semenjak tulisan ini ditulis, penulis belum mendapatkan berita tersebut. Semoga saja, tidak hanya AG atau BN saja yang diberikan layanan, juga kepada penyintas-penyintas lainnya di Indonesia. 

Perlu digaris bawahi, bahwa saksi dan korban merupakan dua hal yang berbeda. Sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban bahwasannya korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan  tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan atau ia alami sendiri.

Sementara dalam kasus seksualitas, penyintas dianggap sebagai saksi sekaligus korban. Menjadi saksi karena ia mengalami sendiri peristiwa memilukan tersebut dan menjadi korban karena merasa dirugikan. Acap kali, karena kurangnya saksi mata maka korban pelecehan seksual dianggap mengada-ada. Apalagi kejadian yang sudah berlangsung lama, penyintas menganggap bukti visum akan sulit diketahui. 

Untuk melakukan visum, penyintas pun harus melakukan laporan kepada kepolisian setempat terlebih dahulu. Anggapan masyarakat terkait sulitnya birokrasi kepolisian membuat penyintas mengurungkan niat untuk melapor apalagi si penyintas masih memiliki trauma terhadap pelaku.

Dari sinilah LPSK berperan. Dengan pimpinan baru LPSK 2018-2023, diharapkan para penyintas tidak merasa takut untuk melapor kepada kepolisian karena mendapatkan perlindungan penuh dari LPSK baik sebagai saksi maupun korban. Apalagi layanan pengaduan dan permohonan perlindungan sudah semakin mudah dengan mengunjungi website LPSK. Di sana kita bisa mendaftar secara daring, namun tetap saja semua butuh proses untuk menjamin sebuah validitas data.

lpsk.go.id
lpsk.go.id


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun