Dunia mahasiswa, kata sebagain orang adalah masa yang paling menyenangkan. Setelah dua belas tahun dilabeli sebagai pelajar, akhirnya label mahasiswa disematkan. Butuh perjuangan yang cukup berat untuk sampai di titik mahasiswa. Apalagi jumlah mahasiswa di Indonesia tidak sebanyak negara tetangga. Pasalnya, hanya 30 persen dari jumlah pelajar di Indonesia yang bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini berbeda jauh dengan negara Malaysia yang mana sudah mencapai 70 persen pelajar yang bisa merasakan menjadi seorang mahasiswa. Mahasiswa, kata sebagian orang adalah agen perubahan. Maka tak ayal jika pendapat-pendapat mahasiswa selalu diagungkan oleh masyarakat awam.
Namun apa daya, dunia mahasiswa tak semenyenangkan pikiran orang. Memang,awal-awal semester baru mahasiswa selalu semangat, rajin ke perpustakaan, hadir tepat waktu dan ikut organisasi sana-sini serta tidak pernah bolos kuliah. Semakin naik semester, semakin berubah pola pikir sebagian mahasiswa. Sampai-sampai keuangan tidak terkontrol dengan baik. Akibatnya tak sedikit mahasiswa yang pupus di tengah jalan sebelum akhirnya diwisuda. Salah satu penyebabnya adalah budaya hedonisme.
Budaya hedonisme di kota membuat mahasiswa ketularan sifat tersebut. Awal bulan mahasiswa selalu mengiyakan ajakan teman ke resto mahal, hang out sambil belanja barang bermerek, sampai diajak bolos untuk nonton konser yang mana harga tiket masuknya setara dengan harga handphonemiliknya. Miris memang, meskipun berasal dari keluarga mapan, apa salahnya untuk mengurangi budaya hedonisme. Karena tidak akan ada yang bisa menjamin besok kita masih punya uang atau tidak. Hanya Tuhan yang tahu. Lebih mirisnya, mahasiswa yang berasal dari keluarga pas-pasan tapi tetap saja mengiyakan ajakan budaya hedonisme itu. Dengan dalih agar bisa bergaul.
Siklus mahasiswa ini ada baiknya kita pelajari saat awal-awal masuk kuliah. Jangan sampai kita menjadi mahasiswa abadi yang hanya menghabiskan uang orang tua tapi minim prestasi. Kerja keras orang tua dibalas dengan wisuda yang tak kunjung datang. Biaya semesteran tidak gratis. Jadi semakin banyak semester semakin banyak pula uang dikeluarkan. Apalagi bagi mahasiswa rantau, tentu biaya bulanan harus terus dipikirkan orang tua kecuali mahasiswa yang kuliah sambil mencari duit.
Lantas siapa bakal menjamin siklus mahasiswa? Apakah semester depan masih bisa bayar semesteran. Meskipun sudah bekerja sambilan, biaya tak terduga pasti muncul tanpa diduga-duga. Ketika sakit harus berobat, ada biaya praktikum ke luar kota, biaya membeli buku, laptop hilang atau rusak dan kejadian ala siklus mahasiswa lainnya yang tidak bisa kita jamin.Â
Di era serba digital ini menuntut mahasiswa tidak hanya mengandalkan budaya hedonisme semata. Budaya hedonisme malah akan membuat kantong tipis namun prestasi miris. Pemanfaatan teknologi digital bisa dijadikan mahasiswa dalam meraup pundi-pundi rupiah. Kerja sambilan istilahnya. Selain tidak menyita waktu kuliah tetapi juga ikut meringankan beban orang tua. Selain itu, kini menabung bisa menjadi salah satu solusi menghindari budaya hedonisme. Apalagi kini menabung bisa lebih mudah dan menyenangkan dengan kehadiran beberapa produk dari May Bank Syariah seperti:  Tabungan iB, Tabungan Pro iB, Tabungan Woman One iB, MyPlan Syariah / MyPlan iB, Tabungan Qurban MyPan, TabunganKu iB, Tabungan Syariah Pijar iB.Â
https://m.facebook.com/mi.moza.792?fref=nf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H