Kurebahkan badan di atas ranjang, menyusul dua anak dan istriku yang sejak tadi tertidur pulas di dalam kelambu. Di luar begitu sunyi. Mataku kulempar ke jam. Jarumnya menunjuk angka 1 lewat 13 menit. Tak ada satu pun suara kendaraan yang lewat. Binatang malam, jangkrik dan kodok juga tak seperti biasanya. Tak lagi riuh. Konsernya telah bubar, meski masih ada sayup-sayup terdengar satu dua suaranya yang berlainan. Mungkin itu suara jantan dan betina yang saling sahut-sahutan sebelum akhirnya mereka mendekat lalu kawin.
Kubalikkan badan ke kanan, terlihat anak sulungku begitu lelap. Lama kupandangi wajahnya. Ia begitu cantik. Kuusap kepalanya berulang kali sambil membetulkan posisi sarung yang membungkus setengah tubuhnya. Kupalingkan wajah ke kiri. Mataku menangkap butiran keringat di kening adiknya. Kuseka, lalu aku tertawa kecil menyaksikan pipinya sedikit basah.
Sementara di ujung kiri ranjang, suara istriku pecah. Ia mengeluh. Merintih. Perutnya yang semakin hari membesar, membuatnya tak lagi begitu pulas ketika malam menjemput. Kuraih tangannya. Kugenggam sesaat sebelum kukembalikan posisi badanku semula. Ingatanku tak pergi dari wajah istriku. Aku membayangkan, bagaimana jika seandainya perutku digantungi beban dua kilo dan harus aku bawa ke sana-sini selama 9 bulan 10 hari.
Pikiranku buyar. Kutatap langit-langit kelambu. Warnanya mulai pudar, tak lagi pink. Ada bekas bolong di sana-sini yang telah ditutupi jahitan benang. Maklum usianya hampir sama usia anak pertamaku, 9 tahun. Jasanya begitu besar, yang bagi kami sulit digantikan dengan anti, hand body dan semprotan nyamuk. Aku pun tak tahu lagi sudah berapa kali ujung-ujung kelambu itu berganti. Kadang kupakai tali, kawat, sobekan kain bahkan tali bekas BH istriku ku pun pernah kusematkan di situ.
Di dalam kain yang berbentuk persegi empat dihiasi renda pada pintunya inilah, boleh kukatakan ia adalah salah satu saksi bisu dalam perjalananku melakukan proses pencarian keturunan yang tinggal menghitung hari mendekati angka 3. Dalam kurun waktu tersebut, tak lagi terhitung berapa banyak nikmat tuhan yang kureguk yang berbalas amanah dan menjelma menjadi dua anak manusia.
Di dalam kelambu pula cerita banyak tersimpan. Belum lagi keluh kesah, tawa dan tangis. Kelambu tak akan pernah protes jika penghuni di dalamnya tidak bicara satu sama lain bahkan saling membelakangi lalu tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga keduanya tertidur. Ia pun tidak akan pernah bisa angkat bicara jika orang-orang di dalamnya tertawa, ribut, berbisik, sebelum matanya lelah lalu lelap.
Di dalam kelambulah aku dan istriku benar-benar menikmati wajah kedua anakku. Kami diam, takut membuatnya terjaga. Tapi tak jarang pula harus menahan tawa, jika tiba-tiba teringat perkataan dan tingkah anak-anak seharian, terutama si bungsu yang usianya 3 tahun. Tanganku selalu kusempatkan mengusap kepalanya lalu kubiarkan hidungku dijejali bau keringat kepalanya. Aroma cuka tapi aku yakin itu terasa nikmat bagi orangtua.
Di dalam kelambulah, aku dan istriku menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencurahkan perasaan masing-masing. Bercerita apa saja. Rencana esok ketika kami bangun, rencana yang belum terwujud dan harapan yang semuanya kami serahkan pada yang empunya kuasa mewujudkan semua itu.
Di dalam kelambulah kami berganti sebagai pendengar tapi kadang pula kompak tertawa dan sama-sama bungkam jika kehabisan amunisi cerita dan malam yang membungkam segalanya.
Luwu, 6 September 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H