Itukah Asdar Muis ? Itukah pria yang selama ini suaranya sering kutunggu tepat pukul 09.00 pagi melalui radio saat membaca essai ? Betulkah ? Aku membathin. Kuparkir kendaraanku. Dari jarak sepuluh meter, sangat jelas kulihat pria itu berdiri di pintu kamar sebuah wisma di kotaku, Belopa, Luwu. Ia tak memakai baju, hanya celana pendek kotak-kotak yang terlihat usang. Dadanya nampak jelas. Perutnya tambun dan rambutnya didominasi warna putih. Tak terurus!
Benarlah pikirku. Saat seorang teman memperkenalkannya. “Ini Kak Asdar Muis,” kata temanku, seorang mantan wartawan. Saya tersenyum, sambil menjulurkan tangan berjabat dengannya. Ia ‘dingin’, tak ada senyum juga tak ada suara menyambut uluran tanganku. Ada rasa kikuk menyergap. Ah ! Adakah yang salah dengan caraku datang ?. Toh, aku tak peduli dan segera memilih duduk di atas tembok pembatas teras. Pas di depan Asdar.
Di samping Asdar, kulihat ada beberapa teman wartawan yang dulu kerja bersama denganku. Ada pula wajah-wajah yang tak kukenal. Mereka duduk semaunya. Ada yang saling memangku, dan banyak yang memilih duduk di lantai. Padahal si pemilik wisma menyediakan banyak kursi. Logat yang keluar dari mulutnya, saya tahu mereka berasal dari Makassar.
Dari pembicaraan yang kutangkap, mereka telah lama duduk dan cerita. Mereka bicara banyak. Dari soal politik di daerahku, dunia tumbuh-tumbuhan (herbal) hingga menyangkut makanan. Kulihat ada banyak makanan tersuguh di meja. Banyak sekali. Bahkan harus di letakkan di lantai karena meja sudah tak muat untuk menampung.
Sesekali tawa mereka pecah. Sangat gaduh. Terlebih ketika Asdar ketawa sambil mulutnya terus mengunyah. Kelihatan jorok, karena ada saja makanan yang ia kunyah tersembul keluar dari mulutnya. Jujur, saya larut ikut tertawa. Tapi bukan karena ceritanya. Saya menertawai perut Asdar yang goyang naik turun. Lipatannya banyak. Lucu. Lama kami berada di tempat itu. Saya senang mendengar cerita-ceritanya. Cakrawala berpikirnya luas, sederhana dan terkadang meninggalkan tanya.
Saat Asdar asyik cerita, di pintu berdiri seorang wanita. Kepalanya dibalut jilbab. Memakai daster bercorak hitam kuning. Kuperhatikan wajahnya. Tak terlalu tua. Ia tersenyum, melempar pandang pada wajah kami semua. Ia menyerahkan botol-botol yang berisi cairan pada Asdar. “Ini obatku. Obat herbal” Asdar menjelaskan pada kami isi botol itu. “Sini ma,” kata Asdar lagi, sambil memegang tangan istrinya. Asdar bermaksud memangku, tapi istrinya tak beranjak. Ia memilih tetap di tempatnya. “Ini Lina, istriku” ucap Asdar. “Ia ke sini karena ingin melihatku pentas”.
Saat Asdar mengatakan itu, saya baru tahu bahwa ia bukan hanya seorang penulis tetapi seorang pemain teater. Dan kedatangannya di kotaku, Asdar ingin pentas. Lalu urusan apa saya diajak bertemu ? Tanyaku berhenti, saat Asdar mengeluarkan kertas dan laptop dari dalam tasnya. Ia mulai bicara. “Ini judul bukunya. Ini judul-judul dari setiap bab yang akan kita bagi habis. Saya ingin buku ini tuntas penulisannya dalam jangka waktu empat bulan. Tidak lebih,” Asdar membuatku tercengang. Kuraih kertas yang ia bagi. Namaku ada di situ.
Aku pulang ! Kucari istriku. Tak sabar kukabarkan padanya bahwa aku telah bertemu dan melihat langsung wajah Asdar Muis. Istriku ada di tempat tidur. Tapi belum tidur. “Kulihat ’mi mukanya Asdar Muis, bu. Begitu pale orangnya,” ceritaku. Istriku penasaran tapi cerita tentang Asdar cepat kuakhiri. Kutinggalkan kamar, sambil setengah berteriak ; Asdar mengajakku menulis buku !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H