Dalam suatu perjalanan tak terduga, tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa bisa menyusuri jalan berjam-jam menuju daerah pelosok negeri dari nuansa kota berpinggir ke desa.Â
Ialah suatu perjalanan berkendara motor dengan bersama keletihanya, juga setengah telernya berkendara. Kalau aroma kota yang padat seperti ini, siapa yang merasa tenteram dengan sebetul-betulnya jika suara bising dan gerah selalu menjadi keluh dalam jeda.Â
Cobalah berkendara mengikuti arus keluar Kendari, anda akan digiring pada titik dikelilingi Konawe sampai ke ujungnya Kab. kolaka, barangkali kalau ada sedikit kesempatan mencoba berkendara ke sana menikmati panorama alam, hijau pegunungan, dan tentunya udara segar itu.Â
Suatu waktu terbayangkan bagaimana keadaan tumbuh kembang anak dalam wilayah dengan asupan oksigen segar seperti ini.Â
Namun bercerita soal apa yang nampak oleh mata rasa-rasanya tidak akan habis dan semestinya memang tidak pernah sirna.
Ini bukan tentang perjalananku adalah perjalananmu, tetapi ini adalah tentang pengalaman dan arti kehidupan yang beberapa hari lalu kita sudahi. Khawatir sudah menjadi perasaan konyol yang menghinggapi, mungkinkah tidak ada rumah untuk kita tiduri untuk tersedianya sedikit tenaga, kata penguatan lainnya adalah "jalan alternatif paling fleksibel adalah Masjid". Bukannya apa, tapi itu rumah ibadah.Â
Mungkin sedikit mengernyitkan dahi dan rumit untuk dibaca tetap barangkali paksakan dulu untuk mengikuti sampai akhir tulisan ini, kalau masih susah juga, apa pentingnya menderitakan diri dalam sesuatu yang membosankan.Â
Juli semakin melaju, menuju akhir wulan yang kelabu. Hujan lekas membumi dan mencipta kembang nan kuncup yang baru. Pada siang terik, dua manusia itu berkendara ke sana jauh,Â
"ujung pukul ujung" keluh ketua HMJ ku,,. "Disana kita hendak kemana far",,,
 "udahlah bang, disana ada rumah nyaman untuk melepas penat, meski beberapa saat," kataku berusaha meyakinkan.Â