Memahami kebebasan pers di Indonesia maka pada hakikatnya merupakan euforia politik era reformasi setelah lengsernya orde baru.Â
Seperti keluar dari penjara akibat kungkungan rezim dengan segala aturan dan ketetapannya. Dimasa sebelum reformasi, insan pers mengalami kelam karena terintegrasi oleh kekuasaan dan penuh batasan kala itu.Â
Sehingga menjamurnya berbagai institusi Media setelah reformasi, bisa dikatakan sebagai syukuran atas terbebasnya dari ikatan rezim selama bertahta.Â
Pers sebagai lembaga sosial yang melaksanakan kegiatan Jurnalistik, tentunya memiliki visi dalam melaksanakan kegiatan Jurnalistiknya sesuai dengan arah gerak media massa yang sedang dijalankannya.Â
Pers, ditinjau dari turunan bahasa diambil dari kata pers dalam bahasa Inggris yang berarti, menekan atau mendorong. Sehingga dalam perspektif luas dapat dipahami bahwa pers sebagai tempat yang tersistem dan mendorong para wartawannya dalam menghimpun informasi untuk kepentingan khalayak.Â
Karena apaladaya pers tanpa audience, dalam hal ini publik sebagai konsumen informasi menjadi objek sentral untuk mendapatkan segala berita termutakhir.Â
Kebebasan pers merupakan wujud dari kebebasan rakyat juga. Dalam hal ini negara telah memberikan suatu hak yang tidak boleh di intervensi oleh pihak manapun. Karena ini sama halnya mencederai kebebasan.Â
Salah satu intervensi akan kebebasan pers adalah arogansi wartawan dan pers. Maksudnya adalah wartawan ini lebih mengutamakan kepentingan medianya daripada kebutuhan khalayak, atau hanya mementingkan bisnis saja dan mengesampingkan kebutuhan khalayak.Â
Perlu diketahui bahwa pers dan wartawan adalah dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama penting.
Pers itu membutuhkan penggerak yaitu wartawan dalam memenuhi kebutuhan informasi, sedangkan wartawan membutuhkan media yang dikelola secara sistematis sebagai tempat bernaung dalam hal ini adalah pers.Â