Di era digital ini, hampir semua institusi pendidikan menggantungkan diri pada sistem IT untuk menunjang operasional akademiknya. Mulai dari sistem informasi mahasiswa, pembayaran online, hingga penyimpanan data akademik, semua berjalan di atas fondasi teknologi informasi. Namun, benarkah sistem ini dikelola dengan baik? Jika kita melihat hasil penelitian tentang tata kelola IT di Kampus XYZ yang dipaparkan dalam jurnal "Penilaian IT Governance dalam Manajemen Risiko IT Menggunakan Metode Quantitative dan Qualitative Risk Analysis", jawabannya tidaklah menggembirakan.
Penelitian ini mengungkap fakta bahwa ancaman terbesar dalam sistem IT kampus bukanlah serangan siber dari hacker internasional, bukan pula bencana alam atau kegagalan perangkat keras, melainkan dari dalam kampus itu sendiri. Sumber daya manusia (SDM) internal yang memiliki akses ke server kampus justru menjadi titik lemah utama. Dengan kata lain, ancaman utama bagi sistem IT kampus bukanlah pihak luar, melainkan mereka yang seharusnya menjaga dan mengelolanya. Ironis, bukan?
SDM: Senjata Makan Tuan dalam IT Governance
Menurut penelitian ini, SDM internal, termasuk administrator server dan staf IT, berkontribusi terhadap risiko terbesar dalam pengelolaan IT. Mereka memiliki akses langsung ke server, yang berarti jika terjadi kesalahan, baik disengaja maupun tidak, dampaknya bisa sangat besar. Jika hal ini benar, bukankah ini menunjukkan adanya kegagalan dalam sistem rekrutmen, pelatihan, dan pengawasan SDM IT?
Bagaimana mungkin kampus yang seharusnya menjadi pusat inovasi dan edukasi justru memiliki staf IT yang menjadi ancaman bagi sistemnya sendiri? Ini menandakan bahwa sistem seleksi dan pengelolaan tenaga IT di institusi akademik kita masih sangat lemah. Tanpa regulasi ketat dan pengawasan yang jelas, mereka yang seharusnya menjaga keamanan data justru bisa menjadi sumber bocornya informasi.
Manajemen Risiko yang Tidak Berdaya?
Penelitian ini menggunakan dua metode utama, yaitu Quantitative Risk Analysis (QRA) dan Qualitative Risk Analysis (mengacu pada NIST SP 800-30). Metode ini sangat bagus dalam mengidentifikasi dan mengukur risiko. Namun, pertanyaannya adalah: apakah solusi yang ditawarkan cukup konkret untuk diterapkan di dunia nyata?
Riset ini menyarankan mitigasi risiko seperti meningkatkan regulasi akses, memperbaiki keamanan server, dan menerapkan sistem backup. Saran yang terdengar bagus di atas kertas, tetapi berapa banyak institusi pendidikan yang benar-benar akan mengalokasikan anggaran untuk itu? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak institusi pendidikan justru menghemat biaya pada divisi IT mereka. Jika terjadi serangan atau kebocoran data, mereka lebih cenderung mencari kambing hitam daripada memperbaiki sistem.
Apakah kampus-kampus di Indonesia benar-benar mau menginvestasikan sumber daya untuk memperbaiki tata kelola IT mereka? Ataukah ini hanya akan menjadi laporan akademik yang berdebu di rak perpustakaan?

Ancaman Nyata: IT Governance yang Gagal
Jika SDM internal adalah ancaman utama dan mitigasi yang diusulkan tidak diterapkan dengan serius, maka kita sedang menghadapi bom waktu dalam tata kelola IT akademik. Bayangkan jika seorang administrator server yang tidak puas dengan kebijakan kampus memutuskan untuk merusak atau mencuri data akademik mahasiswa. Seberapa besar dampaknya bagi ribuan mahasiswa yang bergantung pada sistem ini?
Lebih buruk lagi, banyak institusi pendidikan tidak memiliki sistem pemulihan data yang memadai. Jika sistem mereka diretas atau rusak dari dalam, berapa lama mereka bisa pulih? Seminggu? Sebulan? Atau malah tidak bisa pulih sama sekali?