Oleh : Siti Alifah A
"Saya Muslim", ah gagah sekali kita saat mengucapkan kalimat tersebut. Mantap, tanpa keraguan sedikitpun. Seolah kita adalah penjaga islam yang paling terdepan. Bangga, itulah perasaan yang sama-sama kita rasakan ketika mengucapkannya.
Tauhid, merupakan landasan utama yang menjadikan kita memiliki gelar membanggakan itu. Tauhid, seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menyamakan arah pandang dan perjuangan kita. Sama-sama bertuhankan Allah yang Maha Esa dan berpedoman pada mukjizat Alqur'an dan as sunnah yang dibawa oleh Rasul-Nya, Muhammad SAW. Jika hilang Tauhid dari diri kita, maka hilanglah pula gelar "Muslim" yang tersemat pada kita.
Akan tetapi, disebuah negeri yang katanya umat muslim nya paling besar, paling toleran dan konon islamnya paling murni, lebih murni daripada islamnya orang-orang arab, terjadi percakapan dalam sebuah platform media sosial yang amat mengiris hati antara seorang muslim dengan seorang hebat yang harusnya menjadi penjaga islam terkuat di negeri tersebut, perisai sekaligus 'panglima' kaum muslimin disana.
Percakapan ini diawali oleh viralnya sebuah foto dari agenda promosi Rohis di sebuah Madrasah Aliyah Negeri di sukabumi yang menggunakan bendera Tauhid bertuliskan lafadz "Laa ilaha Ilallah, Muhammadur Rasulullah" dalam aksinya, sebuah kalimat yang menandakan identitas mereka sebagai generasi muslim yang ternyata menuai kontroversi diantara kaum muslimin sendiri.
Seperti yang termuat dalam portal beritaÂ
Seorang netizen dengan nama akun @acehasan76 pada sabtu, 20 juli 2019 pukul 21.45 berkomentar: "Seharusnya madrasah apalagi yang dikelola oleh Kemenag harus mengedepankan semangat NKRI daripada penggunaan bendera yang identik dengan organisasi yang terlarang".
Pernyataan itupun dengan sigap direspon oleh menteri agama keesokan harinya dalam akun beliau @lukmansaifuddin pada ahad, 21 juli 2019 pukul 11.29. "Sejak semalam sudah ada tim khusus dari pusat yang ke lokasi untuk investigasi. Saat ini proses penanganan di lapangan masih sedang berlangsung. Kami serius menangani kasus ini", tutur beliau.
Percakapan yang sungguh menyayat hati. Bagaimana tidak? Kalimat Tauhid yang menjadi simbol sekaligus identitas keislaman kita, begitu mudah dan cepat dikriminalkan bahkan oleh seorang panglima yang seharusnya paling terdepan dalam menjaga berkibarnya bendera Tauhid warisan Rasulullah SAW tersebut, hanya dengan alasan bahwa bendera tersebut  "Identik dengan organisasi terlarang" (HTI,pen). Padahal yang diputuskan oleh pengadilan terhadap organisasi HTI adalah pencabutan BHP bukan pernyataan "Pembubaran" apalagi cap HTI sebagai organisasi "Terlarang".
Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan bahwa tindakan serupa justru tidak diberlakukan terhadap organisasi separatis semacam OPM di papua yang jelas-jelas menginginkan perpecahan NKRI dan mengibarkan bendera zionis israel, penjahat kemanusiaan terbesar terhadap kaum muslimin di palestina yang kasusnya sampai saat ini seolah tiada berujung.
Apalagi jika kita berbicara soal kasus korupsi yang ratusan kali menjeratt para petinggi negeri ini, yang jua selalu menuai keluhan akan lambat penanganannya. Bukan sekali, tapi hampir selalu begitu. Bahkan korupsi jadi seperti konsumsi sehari-hari di negeri ini, pelakunya tak lagi memiliki rasa malu, justru mereka tertawa bangga didepan kamera seperti artis hollywood yang berjalan diatas karpet merah. Bahkan copet saja memiliki rasa malu yang lebih besar dari mereka. Sebut saja fenomena jamaah koruptor yang menjerat sekaligus 41 Anggota DPRD malang bulan september 2018, atau kasus jual beli jabatan di kemanag yang menetapkan ketum PPP, muhammad Romahurmudzy alias Romi di pertengahan maret 2019 lalu yang kesemuanya tertangkap 'nyengir' di depan kamera.