Indonesia dan dunia dihadapkan dengan Pemanasan Global, Global Warming. Setidaknya, hal itu dibuktikan dengan naiknya temperatur suhu. Suhu panas dirasakan banyak orang saat ini adalah fenomena riil pada beberapa dekade terakhir.
Bahkan, beberapa daerah yang dulunya dingin, saat ini mulai menunjukkan tingkat penurunan suhu dingin secara signifikan. Kondisi ini akan begitu mengkhawatirkan semua pihak.
Kekeringan dan perubahan iklim, belum lagi berkurangnya cadangan air tanah yang kian menipis. Pemicunya beragam, mulai dari penggundulan hutan dan alih fungsi lahan, terjadinya efek rumah kaca, bahkan pemanfaatan tanaman sawit sebagai tanaman perkebunan.Â
Tanaman Kelapa Sawit masih menjadi primadona petani perkebunan di Indonesia dan negara asia lainnya. Namun, lepas dari itu semua, nyatanya tanaman ini membutuhkan volume air untuk diserap dengan jumlah tinggi. Sawit membutuhkan lima hingga 20 liter per hari per batang.
Artinya, jika luas lahan sawit semisal dua hektar, berisi 200 batang sawit, maka membutuhkan 1000 liter, bahkan bisa mencapai 4000 liter. Hal ini dapat dibuktikan dengan surutnya muka air sungai dan keringnya rawa-rawa di sekitar lahan.Â
Penulis merupakan putra transmigran Bengkulu dan Jambi, adapun perkebunan kelapa sawit adalah komoditas hasil pertanian bagi mayoritas petani transmigran pada daerah tersebut. Evolusi iklim dan suhu terjadi. Perbedaan iklim hari ini jauh berbeda dengan suasana saat penulis belia. Begitu juga dengan sumber mata air juga kian sulit.
Dahulu, hanya butuh kedalaman sumur 4 - 6 meter. Saat ini, banyak orang membuat sumur bor, dengan kedalaman lebih dari 30 meter, bahkan ada yang sampai 70 meter.Â
Sungai-sungai yang mengalir deras, juga lebar dan cukup dalam, kini berubah menjadi dangkal dan sempit. Rawa-rawa kian menyusut dan menjadi daratan baru. Kondisi nyata ini butuh proses kurang lebih 25 hingga 3o tahun. Sepanjang usia penulis dari dilahirkan hingga saat ini.Â
Kondisi ini, tentu juga bukan hanya satu penyebab karena lahan pangan perkebunan sawit semata. tetapi, juga dikuatkan dengan adanya pembukaan lahan baru, perambahan hutan, yang disertai dengan eksploitasi hutan besar-besaran, belum lagi dengan upaya tambang bumi yang masif.Â
Sama halnya juga terjadi adanya perubahan iklim dan kualitas suhu dingin juga terjadi di beberapa wilayah di Bengkulu. 10 hingga 20 tahun lalu, penulis kerap mengunjungi Lebong, Curup, dan Kepahiyang. Daerah tersebut terkenal dengan temperatur suhu dingin dan kualitas udara sejuk. Tetapi, hampir semua pengunjung saat ini sepakat mengklaim, bahwa daerah tersebut sudah tidak sedingin dahulu.Â
Nyatanya, rimbunan tanaman dan rimbanya hutan di sepanjang Taman Nasional Bukit Barisan, sudah mengalami suksesi lahan secara masif. Barisan tanaman sawit terlihat telanjang jika kita melintasi daerah tersebut. beberapa spot rimba sudah terisi tanaman yang haus akan air tersebut.