"Indonesia Darurat Asap", begitu frase yang muncul memenuhi beranda media sosial. Frase itu juga menjadi tema besar seluruh media massa cetak dan elektronik akhir-akhir ini. Artinya, semua pihak, tak terkecuali masyarakat riil dan maya, ternyata menyimpan antusiasme terhadap fenomena ini. Hal ini bagian dari efek musim kemarau tahun ini, berdurasi cukup panjang.Â
Masalah asap nyatanya bukan perkara kebakaran atau pembakaran hutan pada suatu kawasan, tetapi perkara kesehatan, keberlangsung ekonomi dan pendidikan, bahkan diplomasi antar negara. Belum lagi, kemarau yang selalu ditandai dengan minimnya pasokan air bersih. Sebuah keniscayaan yang selalu dihadapi oleh sebagian masyarakat. Sebagian daerah di Sumatera dan Kalimantan, menjadi sasaran perhatian paling serius.
Namun, terkecuali Aceh, Sumatera Barat, bahkan Bengkulu. Syukurnya, wilayah ini terpantau BMKG sebagai wilayah dengan relativitas udara yang normal dan tertolelir. Kondisi ini kontras dengan beberapa daerah lainnya di Sumatera. Terpantau dari situs BMKG, Pekanbaru - Riau berada pada kondisi 'Bahaya' tanpa pengecualian, disusul Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung. Pulau Kalimantan pun mendapati kondisi serupa, calon ibukota negara pun tengah diuji dengan 'seramnya' kabut asap.Â
Sinergitas itu semestinya pula dapat dilakukan terhadap semua instansi terkait, TNI/Polri, BNPB, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Tokoh Adat dan tokoh masyarakat, ulama, dan hingga satuan terkecil dalam masyarakat.Â
Sepertinya, upaya tersebut juga harus disertai dengan tingkat partisipasi semua elemen masyarakat. BNPB menuturkan, bahwa kebakaran hutan sebagian besar dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.Â
Pastinya, 80 persen lahan terbakar tersebut dijadikan sebagai wilayah perkebunan nantinya. Bukan tanpa alasan, pembukaan lahan baru melalui metode pembakaran, adalah hal yang sangat ekonomis. Kondisi tersebut, ditunjang dengan keadaan kemarau yang berkepanjangan. Sebagian masyarakat memilih hal ini, karena efisiensi waktu dan biaya. Sebuah kondisi ironis yang akhirnya menyebabkan kerusakan serius.Â
Tidak lagi terpikirkan, bahwa dampak Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan) telah menyisakan masalah yang serius. Saat kemarau, sudah dapat dipastikan bakal merusak wujud udara normal, menjadi sangat pekat dengan kabut asap. Partikel kimia berbahaya, dan debu sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat.Â
Ulah pembakaran lahan menjadi sangat membahayakan, manakala hal itu terjadi pada kondisi lahan dan hutan dengan karakter tanah gambut. Riau dan sebagaian Jambi dan atau Sumatera Selatan didominasi lahan gambut. Hal serupa juga terjadi di sebagian Kalimantan.
Penulis mengutip keterangan terkait lahan gambut dari WWF-Forest Indonesia, badan ini menerangkan, bahwa pada musim kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan, sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat  dan sulit dideteksi, sehingga menimbulkan asap tebal.Â