Mohon tunggu...
Musyaffa M Sos
Musyaffa M Sos Mohon Tunggu... Dosen - When we should change, there is chance

We never die, couse always think and show writting....

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Habibie, Bapak Kebebasan Pers Indonesia

12 September 2019   16:30 Diperbarui: 12 September 2019   23:06 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih dari tiga dasawarsa hingga masuknya Era Reformasi, Pers Indonesia mengalami pasang surut kebebasannya. Pada kurun waktu itu, tak sedikit pers mengalami persekusi. Setidaknya, intimidasi tersebut terlihat pada banyaknya pembredelan pada lembaga pers. Kompas, dikenal sebagai media independen dan humanis juga pernah mendapatkan perlakuan tersebut. Apalagi, model pers seperti Tempo. Tempo dua kali mengalami pembredelan pada era Orde Baru.

Pembungkaman terhadap media pers saat itu selaras dengan kondisi perpolitikan. Rezim otoriter menjadi atmosfer paling dominan mewarnai roda pemerintahan. Alhasil, imbasnya, pers mengalami penekanan dan pembatasan luar biasa. Pers harus tunduk pada kepentingan kebijakan Departemen Penerangan saat itu.

Lalu, mengapa media pers saat itu mengalami pembredelan? Alasan utamanya adalah kritikan tajam terhadap pemerintah Orde Baru. Misal, Tempo dibredel karena beritanya mengungkap ketidakwajaran pemerintah dalam pembelian kapal-kapal bekas dari Jerman Timur.

Presiden Joko Widodo dalam pidato persada pada pemakaman Habibie, menegaskan bahwa Habibie adalah aktor pembukanya kran demokrasi. Akibatnya, kebebasan demokrasi dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Demokrasi dan pers sangat erat kaitannya. Apalagi, pers merupakan salah satu pilar demokrasi sebuah bangsa. Bahkan, pers menempati posisi strategis ke-empat, setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Tidaklah berlebihan jika pers baik cetak, elektronik, bahkan online menemakan tentang sosok Habibie pada edisi kali ini. Seperti Koran Republika edisi Kamis, 12 September 2019, memberikan ruang profil verbal dan atau visual pada harian tersebut. Hal itu tentu bukan tanpa alasan, Republika yang saat ini tergabung pada holding company Mahaka Media Group, ternyata bagian dari salah satu peninggalannya, berbentuk  pers. Setidaknya, itulah salah satu amal jariyahnya Habibie.  Selain, Ia menjabat sebagai  Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), beliau pun  juga menjadi ketua  Ikatan Cendikia Muslim Indonesia (ICMI) pada kurun waktu 1995-an. Menurutnya, ICMI saat itu, harus memiliki media pers dengan semangat menampung dan menyampaikan aspirasi umat Islam. Pada 19 Desember 1998, melalui PT Abdi Bangsa, cita-cita ICMI, untuk memiliki media penyambung suara umat Islam terwujud.

icmi-5d7a0bb1097f361bbc0a2a84.jpg
icmi-5d7a0bb1097f361bbc0a2a84.jpg
Lepas dari itu, sebuah upaya penerbitan pers bukanlah hal mudah. Orde baru yang lazim disebut era pembatasan produktivitas pers. Ternyata juga  anti  kritik terhadap kebijakan strategisnya. Tentu, hal ini menimbulkan Sebuah hambatan pada cita-cita pendirian media pers.  Tetapi, tidak untuk Habibie, kedudukannya sebagai Menristek, menjadi alat utamanya meminta restu Presiden Soeharto. Restu tersebutlah, yang memuluskan Republika memperoleh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Meskipun, ia mengetahui bahwa jaminan kebebasan pers belum dapat diperjuangkan, lantaran sistem pemeritahan yang ada saat itu.   

Mei 1998, menjadi awal titik terang kepentingan kebebasan pers. Suksesi kepemimpinan yang ditandai runtuhnya rezim orde baru yang dikenal otoriter tersebut, memberi kesempatan lebih strategis bagi Habibie. Lepas dari kepentingannya pada kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Kebebasan pers bagian dari upaya utama, tak kalah menariknya guna diperjuangkan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Disadarinya, Pers merupakan  wahana  kontrol sosial dan aspirasi masyarakat.  Keberadaannya penting, sebagai watch dog (Anjing Penjaga) bagi setiap kebijakan pemerintah yang represif. Suasana pembungkaman suara-suara kritis yang ada di era orde baru, mulai saat itu menjadi hilang. Habibie memimpin Indonesia.

Sebagai orang nomor satu di Indonesia, ia memiliki wewenang luar biasa untuk mewujudkan keinginan besar insan pers. Kebebasan berpendapat, kebebasan memberi masukan dan kritikan diakomodir dengan satu undang-undang. Kondisi itu bukanlah hal yang rumit dan kompleks. Secara politis, Habibie masih memiliki pengaruh kuat di parlemen, dominasi  Partai Golongan Karya (Golkar), menjadi modal besar guna mewujudkan kran kebebasan berdemorkasi. Artinya, tidak ada hambatan signifikan di parlemen ketika ia mencoba untuk menerbitkan satu produk undang-undang pers. Disinilah, cikal bakal terbitnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 (UU No. 40/1999) tentang Pers . 

uu-pers-5d7a0af70d82303f683a98d3.jpg
uu-pers-5d7a0af70d82303f683a98d3.jpg
Melalui peraturan tersebut, pers memiliki aturan baku dalam operasionalisasinya. Optimis kebebasan bersuara terpancar. Mulai saat itu, hingga hari ini, tidak lagi ditemui pembredelan terhadap media pers nasional. Namun, ia tetap saja menginginkan agar pers tetap pada prinsip kebebasan yang bertanggung jawab. Artinya, kebebasan pers yang ada di era reformasi jilid dua saat ini, harus disertai dengan upaya tanggung jawab moral agama dan pancasila. Apalagi, saat ini tengah memasuki era media baru. Setiap orang dapat mengonsumsi berita kapanpun dan di manapun, saat bersamaan, ternyata seseorang juga  dapat  memproduksi berita. Guna menyikapi fenomeda berita media baru, Dewan Pers sebagai organisasi 'pengadilan' pers, menerbitkan Pedoman Pemberitaan Media Online pada 2012. Tetapi, tetap saja landasan utamanya adalah UU No. 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik.

Sebabnya, mari sebagai rakyat Indonesia yang baik, mulailah menyadari bahwa kebebasan berkespresi dan bersuara, kebebasan berpendapat dan akal kritis tetap perlu rasa tanggung jawab. Tidak hanya tanggung jawab di dunia, tetapi juga tanggung jawab di akhirat. Karenanya, penting saring sebelum sharing. Pergunakan kebebasan tersebut dengan semangat kritik membangun, bukan kritik menjatuhkan. Juga bukan menjadikan kebebasan bermedia, sebagai lahan provokatif dan pemicu disintegrasi bangsa yang ber-bhineka. Selamat jalan bapak kebebasan Pers Indonesia, Prof. Dr. Ing. H. Bacharudin Jusuf  Habibie, Eyang Habibie.

habibie-dua-5d7a0b42097f364ba513e304.jpg
habibie-dua-5d7a0b42097f364ba513e304.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun