Lebih dari tiga dasawarsa hingga masuknya Era Reformasi, Pers Indonesia mengalami pasang surut kebebasannya. Pada kurun waktu itu, tak sedikit pers mengalami persekusi. Setidaknya, intimidasi tersebut terlihat pada banyaknya pembredelan pada lembaga pers. Kompas, dikenal sebagai media independen dan humanis juga pernah mendapatkan perlakuan tersebut. Apalagi, model pers seperti Tempo. Tempo dua kali mengalami pembredelan pada era Orde Baru.
Pembungkaman terhadap media pers saat itu selaras dengan kondisi perpolitikan. Rezim otoriter menjadi atmosfer paling dominan mewarnai roda pemerintahan. Alhasil, imbasnya, pers mengalami penekanan dan pembatasan luar biasa. Pers harus tunduk pada kepentingan kebijakan Departemen Penerangan saat itu.
Lalu, mengapa media pers saat itu mengalami pembredelan? Alasan utamanya adalah kritikan tajam terhadap pemerintah Orde Baru. Misal, Tempo dibredel karena beritanya mengungkap ketidakwajaran pemerintah dalam pembelian kapal-kapal bekas dari Jerman Timur.
Presiden Joko Widodo dalam pidato persada pada pemakaman Habibie, menegaskan bahwa Habibie adalah aktor pembukanya kran demokrasi. Akibatnya, kebebasan demokrasi dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Demokrasi dan pers sangat erat kaitannya. Apalagi, pers merupakan salah satu pilar demokrasi sebuah bangsa. Bahkan, pers menempati posisi strategis ke-empat, setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tidaklah berlebihan jika pers baik cetak, elektronik, bahkan online menemakan tentang sosok Habibie pada edisi kali ini. Seperti Koran Republika edisi Kamis, 12 September 2019, memberikan ruang profil verbal dan atau visual pada harian tersebut. Hal itu tentu bukan tanpa alasan, Republika yang saat ini tergabung pada holding company Mahaka Media Group, ternyata bagian dari salah satu peninggalannya, berbentuk  pers. Setidaknya, itulah salah satu amal jariyahnya Habibie.  Selain, Ia menjabat sebagai  Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), beliau pun  juga menjadi ketua  Ikatan Cendikia Muslim Indonesia (ICMI) pada kurun waktu 1995-an. Menurutnya, ICMI saat itu, harus memiliki media pers dengan semangat menampung dan menyampaikan aspirasi umat Islam. Pada 19 Desember 1998, melalui PT Abdi Bangsa, cita-cita ICMI, untuk memiliki media penyambung suara umat Islam terwujud.
![icmi-5d7a0bb1097f361bbc0a2a84.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/12/icmi-5d7a0bb1097f361bbc0a2a84.jpg?t=o&v=770)
Mei 1998, menjadi awal titik terang kepentingan kebebasan pers. Suksesi kepemimpinan yang ditandai runtuhnya rezim orde baru yang dikenal otoriter tersebut, memberi kesempatan lebih strategis bagi Habibie. Lepas dari kepentingannya pada kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Kebebasan pers bagian dari upaya utama, tak kalah menariknya guna diperjuangkan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Disadarinya, Pers merupakan  wahana  kontrol sosial dan aspirasi masyarakat.  Keberadaannya penting, sebagai watch dog (Anjing Penjaga) bagi setiap kebijakan pemerintah yang represif. Suasana pembungkaman suara-suara kritis yang ada di era orde baru, mulai saat itu menjadi hilang. Habibie memimpin Indonesia.
Sebagai orang nomor satu di Indonesia, ia memiliki wewenang luar biasa untuk mewujudkan keinginan besar insan pers. Kebebasan berpendapat, kebebasan memberi masukan dan kritikan diakomodir dengan satu undang-undang. Kondisi itu bukanlah hal yang rumit dan kompleks. Secara politis, Habibie masih memiliki pengaruh kuat di parlemen, dominasi  Partai Golongan Karya (Golkar), menjadi modal besar guna mewujudkan kran kebebasan berdemorkasi. Artinya, tidak ada hambatan signifikan di parlemen ketika ia mencoba untuk menerbitkan satu produk undang-undang pers. Disinilah, cikal bakal terbitnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 (UU No. 40/1999) tentang Pers .Â
![uu-pers-5d7a0af70d82303f683a98d3.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/12/uu-pers-5d7a0af70d82303f683a98d3.jpg?t=o&v=770)
Sebabnya, mari sebagai rakyat Indonesia yang baik, mulailah menyadari bahwa kebebasan berkespresi dan bersuara, kebebasan berpendapat dan akal kritis tetap perlu rasa tanggung jawab. Tidak hanya tanggung jawab di dunia, tetapi juga tanggung jawab di akhirat. Karenanya, penting saring sebelum sharing. Pergunakan kebebasan tersebut dengan semangat kritik membangun, bukan kritik menjatuhkan. Juga bukan menjadikan kebebasan bermedia, sebagai lahan provokatif dan pemicu disintegrasi bangsa yang ber-bhineka. Selamat jalan bapak kebebasan Pers Indonesia, Prof. Dr. Ing. H. Bacharudin Jusuf  Habibie, Eyang Habibie.
![habibie-dua-5d7a0b42097f364ba513e304.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/12/habibie-dua-5d7a0b42097f364ba513e304.jpg?t=o&v=770)