Mohon tunggu...
Muryanti Sosiologi
Muryanti Sosiologi Mohon Tunggu...

pembelajar mimpi-mimpi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negara Buruh

25 September 2014   09:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:36 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Negara buruh itulah yang layak menjadi julukan untuk Indonesia. Akan tetapi sebagian besar kita malu mengakuinya dan tidak terima dengan julukan itu. Sebagai negara miskin di dunia ketiga, kita memang angkuh dengan kekurangan kita.Padahal setiap tahun bukan hal yang asing di bandara- bandara Internasional dan di pelabuhan- pelabuhan, ribuan warga Indonesia berbondong- bondong mengadu nasib menjadi buruh di negeri orang. Mereka datang dari daerah- daerah pinggiran hampir di seluruh wilayah Indonesia, dari Nusa Tenggara, Jawa, Kalimantan dan lainnya untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Mereka adalah pahlawan devisa, yang dengan sebelah mata kita menyebutnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI)/ Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Fenomena TKI/TKW bukanlah hal yang baru di Indonesis. Di masa kolonialisme Belandapun, banyak orang Indonesia menjadi buruh migran, baik di tingkat lokal ataupu melintasi batas negara. Beberapa jenis pekeerjaan yang mereka lakukan adalah sebagai buruh pabrik, buruh perkebunan, Pembantu Rumah Tangga (PRT), dan hanya sebagian kecil yang menjadi pekerja profesional. Dan yang perlu digarisbawahi adalah dari hasil keerja mereka menjadi buruh itu, sumbangan yang mereka berikan kepada negara bukanlah jumlah yang kecil, yakni hampir 7 trilyun setiap tahunnya. Akan tetapi sumbangan yang besar itu tidak diimbangi dengan perlakukan yang tidak manusiawi, dalanm hal ini pemerintah tidak memberikan pelayanansecara optimal, TKI/TKW mendapat perlakukan yang diskriminatif. Hal ini terlihat dari proses pemberangkatan ke tempat kerja, pemerintah tidak bersikap ramah, terutama di bandara ataupaun pelabuhan. Demikian juga tempat penampungan yang diberikan kepad mereka sangat tidak layak.

Pemerintah juga kurang memberikan perlindungan hukum terhadap TKI/TKW. Disahkannya UU PPTKILN tersebut hanya mengatur penempatan, yang hanya berkutat seputar administrasi semata, artinya pemerintah berperan memungut biaya- biaya tertentu sebagai syarat wajib yang harus dipenuhi untuk menjadi TKI/TKW. Sedangkan fungsi perlindungan UU tersebut tidak menyentuh permasalahan mereka. Ketika ada kasuspenganiayaan atauapun kekerasan dalam bentuk fisik, pembunuhan ataupun upah yang tidak terbayarkan, UU tersebut hanya diam. Pemerintah sangat lamban dalam mengambil sikap dan tindakan, seolah tidak peduli. Pemulangan TKI/TKW ilegal itu baru diurus secara konsen pada awal tahun ini, setelh terdapat banyak kasus. Padahal sebelumnya gelombang pemulangan lewat jalur darat, laut dan udara serta razia TKI ilegal sudah berlangsung alma. Dengan alasan memecahkan maslah Nasional yang lebih penting, bencana alam di Aceh misalnya.

Jika ditinjau lebih jauh, kemiskinan menjadi faktor utama yang melahirkan TKI/TKW. Kondisi daerahy- daearh pinggiran yang menjadi kantong- kantong (daerah sending) sebagian besar dapat dikatkan tidak produktif hasil pertaninanya, mengingat tidak adanya keseimabngan buiaya produksi dengan hasil penjualan yang diperoleh. Demikian juga iklim usahakecil tidak memberikan peluang kerja kepada angakatan kerja yang ada dan tidak ada modal. Sehingga mereka melirik peluang bekerja di luar negeridengan harapan menadpatkan penghidupan yang lebih baik, mengingat banyak juga tetangganyan yang sukses menjadi TKI/TKW.Sehingga dalam kondisi perut lapar dan kurang pedulinya pemerintah kepada masyarakat miskin, patut ditertawan pemerintah menytop gelombang TKI/TKWke luar negeri. Demikian halnya dengan fatwa MUI yang melarang perempuan kbekerja ke luar rumah, konteksnya TKW tanpa didampingi oleh muhrimnya. Statement tersebut sangat tidak relevan. Kecuali jika pemerintah mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang menjanjikan di dalam negeri sampai tingkat kabupaten hampir di seluruh indonesia. Sehingga mereka lebih memilih menjalani hidup di dalam negeri daraipada menjadi buruh migran. Dalam tingkatan yang minimal, pemerintah seharusnya melakukan pembangunan wilayah yang berimbang, tidak hanya sentralistik, akan tetapi benar- benar sampai kepada tangan kelompok- kelompok yang bebar- benar membutuhkan. Terutama membuat kebijakan pertanian yang berpihak kepada petani, karena sebagin besar mereka berasal dari wilayah agraris dan tidak diuntungkan dengan kebijakn pertanian itu sendiri.

Tetapi yang patut menjadi catatan juga, bahwa fenomena TKI/TKW tidak bisa dihindari. Apalagi dalam era globalisasi seperti saat ini, yang apapun dapat dilakukan melampau batas kenegaraan. Sehingga yang perlu ditekankan adalah pengakuan kita secara jujur bahwa kita adalah sebagai negara pengahsil buruh, bahkan terbesar di Asia Tenggara. dan memberikan perlindungan hukum kepada buruh. Harapannya buruh Indonesia mempuanyi bargaining potitin yang tinggi. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun