Mohon tunggu...
Muryanti Sosiologi
Muryanti Sosiologi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

pembelajar mimpi-mimpi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Perempuan Bekerja

5 Maret 2014   17:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:13 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Revolusi industri, menjadi momen terpenting bagi tercerabutnya perempuan dari peran domestik. Mereka mulai memasuki relung-relung dunia kerja yang sebelumnya dianggap tabu dan hanya kuasa laki-laki. Pihak industri sangat senang dengan tenaga kerja perempuan, karena ulet, rajin, tidak banyak tuntutan dan mau diupah dengan UMR karena mengejar penghasilan tambahan. Bagi perempuan sendiri, memasuki dunia kerja adalah perubahan nilai dan kultur dari tradisi pekerja rumah tangga yang tidak dibayar.

Pada masa abad ke 20 ini, di Indonesia sangat nampak sekali peran perempuan di dunia kerja. Tidak jauh berbeda dengan masa Revolusi Industri di Inggris pada abad ke 17. Jika kita amati, karyawan swasta ataupun pegawai pemerintah (pns) di setiap instansi jumlahnya selalu lebih banyak perempuan dibanding laki-laki. Sektor pekerjaan yang dulu identik laki-laki, semisal satpam, petugas keamanan di kereta pun perbandingan antara laki-laki dan perempuan menjadi tidak terlalu senjang.
Lambat tetapi pasti, era industri dengan kultur, nilai dan tradisinya mulai menggeser masyarakat agraris yang komunal, bersolidaritas mekanik serta keguyubannya. Dimana-mana akan kita temua benturan nilai yang menjadikan masyarakat bersikap mendua "dualisme" antara budaya agraris dan modern.

Dualisme pun terjadi pada perempuan. Satu sisi modernitas memberikan peluang bekerja yang tinggi bagi perempuan. Bahkan peluang bekerja bagi perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki. Saat ini banyak kita jumpai laki-laki yang mau melakukan pekerjaan domestik (mengasuh anak dll). Sisi yang lain, perempuan masih terikat kakinya di dalam rumah. Dengan indikasi, mereka merasa sangat bersalah dengan tidak melakukan pekerjaan domestik, walaupun penghasilan mereka melebihi UMR.

Hasil penelitian yang saya lakukan (2012), perempuan pedesaan yang bekerja sebagai buruh ataupun tidak bekerja cenderung mengadopsi nilai modern, dengan lebih suka menitipkan anak pada lembaga pemberi jasa pengasuhan anak (semacam TPA dan sejenisnya). Artinya mereka mengadopsi modernitas untuk tetap mengukuhkan bahwa dirinya sebagai penjaga utama pekerjaan domestik, walaupun peran utamanya sebagai pekerja publik tidak diragukan lagi. Penelitian yang lain (2013) tentang kelas pekerja menengah di perkotaan juga menunjukan, walaupun mereka pekerja publik dengan kedudukan, status dan penghasilan yang sangat jauh melebih UMR, pekerjaan domestik masih menjadi pilihan utama juga yang tidak bisa ditinggalkan. Misalnya dalam pengasuhan anak dll.

Kata hati dan perasaan perempuan sendiri yang masih mengakar kuat dengan pekerjaan domestik, walaupun ada tuntutan untuk bekerja di sektor publik menjadi wacana yang dilematis semenjak revolusi industri sampai menguatnya gerakan perempuan pada awal abad ke-19. Di Indonesia kurang lebih pada tahun 1960an. Sampai kapankah perdebatan ini berakhir. Ataukah sebenarnya perempuan memang ditakdirkan untuk bekerja di domestik atau rumah tangga? Sehingga ketika dia berupaya meninggalkannya, hatinya berontak dan pikirannya bekerja dengan keras? Ataukah posisi dualisme itu yang menjadi pilihan..(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun