Namanya Winardi (nama sebenarnya). Dia teman saya kecil, satu umuran, satu angkatan sekolah SD. Saat SMP kami berpisah sekolah. Yang akan saya ceritakan panjang lebar ini adalah sekelumit kisahnya yang luarbiasa. Minimal untuk ukuran saya.
Winardi memiliki banyak bakat. Kesenian apapun yang bersentuhan dengannya akan dengan mudah dikuasai. Seni karawitan segala jenis perangkatnya dia bisa padahal waktu itu masih kelas tiga SD. Hampir setiap sore para orang tua berkumpul di rumah kakek saya untuk bermain gamelan. Memang kakek saya memiliki seperangkat gamelan Jawa. Saya tidak melihat dia belajar gamelan, tahu-tahu ketika para orang tua bermain gamelan dia sering masuk saja ke tengah arena mengisi pos mana saja yang kosong. Dan hebatnya semua yang dipegang bisa bunyi. Kalaupun pos tidak ada yang kosong, dia akan menari pecicilan mengikuti irama. Lagi-lagi tariannya bagus dan luwes. Paling menjengkelkan saya adalah ketika ada pentas Ludruk atau Wayang Kulit. Saya yang bisanya nonton berdesakan dengan orang banyak di ujung pagar, Winardi santai saja masuk di rombongan penabuh gamelan menggantikan jika ada penabuh yang ingin istirahat. Sudah nontonnya fokus, duduk dekat sinden, makan suguhan jadah dan wajik lagi.
Kesenian modern yang masuk di kampung kami adalah musik dangdut. Lagi-lagi keluarga besar saya yang berinisiatif mendirikan grup dangdut. Itu lho jamannya lagu Begadang-nya Rhoma Irama. Dan lagi-lagi Winardi menunjukkan bakatnya. Anak sekuprit itu membuktikan dirinya bisa bermain ketipung. Bukan hanya bisa, tetapi hanya dia satu-satunya yang mumpuni. Jadi ketika pentas di panggung, grup dangdut itu kelihatan seperti grup misterius karena suara ketipung terdengar tapi penabuhnya tidak kelihatan. Hidung Winardi hanya sesekali kelihatan di sela goyang pinggul biduanita yang mendendangkan lagu 'Ke Monas' dan 'Piano'. Piano...mari main...piano, mi do do sol do do mi...
Soal ketipung ini terus terang bikin saya iri dengki sama Winardi. Bagaimana tidak, orang-orang berkata : kamu bisa apa, masak kalah sama Win. Saya bisanya nonton, tapi kan tidak bisa saya menjawab : saya ahli nonton! Ahli kok bidang nonton? Hanya saja sedengki-dengkinya saya, mau berbuat apa. Dan lagi sedengki-dengki anak kecil, ya cepat lunturnya. Hari-hari berikutnya ciblon 'mandi di kali' bareng lagi.
Di bidang olahraga pun begitu juga,Winardi menampakkan keunggulannya. Karambol hebat, bulutangkis hebat, sepak takraw hebat, bola voli apalagi jauh lebih hebat. Untuk olahraga bola voli yang waktu itu sangat digemari, dia masuk tim inti bersama para senior. Dia bagian mengatur umpan. Winardi yang sekuprit itu pecicilan ke sana-kemari memberi umpan-umpan ke tukaang smash. Mungkin niatnya juga pingin nyemes juga, tapi ya tidak mungkin, kepalanya saja tidak sampai menyentuh net tingginya. Jika seandainya dulu di kampung saya ada olahraga ski es, mungkin saja dia yang paling jago ngebut, sampai duluan nyebur ke jurang. Lah, pokoknya pada iri deh!
Namanya saja tinggal di kampung, seberiliyan apapun bakat yang dimiliki Winardi, tidak ada yang peduli. Bakat akan hanya berupa bakat yang mengundang decak kagum, tanpa mampu mengundang perhatian pihak lain untuk mengangkat bakat itu menjadi karya berprestasi. Sementara pihak keluarga tidak memiliki kemampuan lebih untuk mendukung potensi itu. Siapapun anak yang berbakat, siapapun anak yang berprestasi, harus berjuang sendiri jika ingin mengunakan keistimewaannya untuk kehidupannya di masa depan.
Ada satu kesempatan datang. Waktu itu Winardi tertarik untuk masuk sekolah tinju. Kabarnya sekolah tinju mau menerima siswa dan menggemblengnya tanpa perlu biaya sedikitpun. Bulat tekadnya, kemudian dia minta ijin ke orang tuanya. Apa yang terjadi? Orang tuanya histeris, apalagi neneknya sampai nangis-nangis susah ditolong.
"Buat apa,Le, sekolah tinju. Sekolah kok diajari jotosan. Nggak rela pokoknya!"
Dasar anak kreatif, suatu ketika dia punya ide untuk mengamen di pasar. Diam-diam dia berangkat ke pasar dengan menenteng gitar pinjaman. Jrang, jreng, jrang, jreng, uang terkumpul, ketahuan tetangga. Lagi-lagi neneknya nangis-nangis hatinya terluka.
"Kita memang orang susah, Le, tapi bukan kere. Kita masih punya harga diri". Ya, mau apa lagi. Batal lagi Winardi mengasah potensi dirinya.
Saya membayangkan seandainya masa kecil kami dijaman sekarang ini, saya yakin orang seperti Winardi akan mudah menemukan jalan pengembangan diri. Tak menutup kemungkinan Winardi menjadi selebriti seperti di tipi-tipi. Kisahnya selalu saya ingat dan selalu saya ceritakan ketika berbincang tentang bakat. Apakah bakat itu akan tidak berguna karena kesempatan emas sudah lewat? Jawabnya: belum tentu tidak berguna. Kelebihan yang dimilikinya itu sangat mungkin bisa dipakai sebagi modal bersosialisai dengan masyarakat di mana dia berada sekarang. Selama masih ada umur, masih terbuka banyak kesempatan.