Mat Midun menyelipkan pisau belati di pinggang. Baju kumal dimasukkannya dalam tas kresek warna hitam. Pelan-pelan dia menyelinap keluar rumah, supaya anak isterinya tidak terbangun di tengah malam. Tetapi sebelum pergi Mat Midun menyempatkan memandang anak semata wayangnya, Gandung. Dipandangnya Gandung dalam-dalam. Jangan kamu seperti Bapakmu ini , Nak! Kalaupun harus bekerja yang berurusan dengan darah, jadilah dokter atau pegawai PMI, Mat Midun berkata dalam batin.
Bergegas Mat Midun berjalan di kegelapan malam, menembus persawahan yang tersisa di tengah kota. Jalan pintas terpendek adalah pematang sawah itu. Malam masih nyenyak, hanya nyamuk yang bergerombol terjaga menjalani takdir kehidupannya. Seperti juga Mat Midun yang di tengah malam menapaki jalan hidupnya.
Teriakan kesakitan tidak lagi mengganggu perasaan Mat Midun. Lama-lama terbiasa dengan nada-nada itu. Satu-satunya jeritan kesedihan yang mengganggunya adalah tangis Gandung, tapi itupun jarang terdengar, dan memang tak ingin sampai terdengar. Belatinya berdarah, baju kumalnya berdarah, matanya pun ikut memerah. Rasa kantuk dan lelah melemaskan sendi tulang, selemas jasad yang rebah.
Sebelum Subuh Mat Midun bergegas pulang. Seperti perginya, datangnya pun dengan menyelinap pelan. Isterinya sudah bangun, tetapi Gandung masih bergelung dengan selimut kesayangannya. Pisau belati disembunyikan, bungkusan kain kumal dimasukkan ke dalam ember dari ban bekas. Rasa kantuk tak bisa lagi dibendung, Mat Midun terkapar tidur tak berbantal.
Menjelang Lohor Mat Midun dibangunkan isterinya.
"Pak, dicari Pak RW!"
"Hah...Pak RW? Ada apa ya? Sepagi ini?"
"Pagi bagaimana, sudah jam duabelas lebih, Pak!"
Buru-buru Mat Midun turun dari tempat tidur. Cuci muka. Sisiran. Minum air putih. Menemui Pak RW.
"Ooo, Pak RW, sudah dari tadi Pak?" Mat Midun bertanya berbasa-basi. Salah tingkah.
"Baru saja kok ...Pak Mat Midun kerja di pejagalan kambing hanya malam hari kan? Nanti sehabis Lohor bisa ke rumah saya? Tolong potong kambing dua ekor, untuk aqiqah cucu saya, Si Fais".