Mohon tunggu...
Murwat
Murwat Mohon Tunggu... wiraswasta -

Trimo Ing Pandum

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Cerpen] Kolak Pisang di Penghujung Hari

25 Agustus 2011   21:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:28 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Maryunah duduk lunglai di kursi sambil memandangi dagangannya yang masih tersisa banyak. Waktu sudah tertancap di pertengahan Asar dan Magrib.  Kolak pisang masih setengah panci, bubur sumsum masih setengah panci, bubur kacang ijo bahkan masih mengintip di bibir panci.  Alamat rugi besar hari ini, keluh Maryunah. Rugi uang memang tidak banyak karena memang dagangannya tidak banyak, dan fakta itu tidak menihilkan besaran nilai kerugian.

Di tengah lamunannya datang Nyonya Besar,begitulah Maryunah mengenalnya.  Maryunah meenduga Nyonya Besar habis pulang dari sebuah acara, soalnya dandanannya benar-benar komplit. Setelan bagus dan serenteng perhiasan nggandul di sana-sini.  Beberapa bungkus Nyonya Besar memesan.  Begitulah kebiasaannya, selalu membeli dalam jumlah banyak.  Mungkin anggota keluarganya banyak.  Di saat Maryunah menyiapkan pesanan, mereka berdua dikagetkan oleh suara kaleng terlempar.  Seperti sepakat mereka berdua menoleh ke arah suara itu datang.  Rupanya seorang pengemis tua tidak sengaja menendang kaleng kosong.  Tidak itu saja, pengemis tua itu jatuh terjengkang.

Sambil kerepotan bangun, pengemis tua itu beradu pandang dengan Maryunah dan Nyonya Besar.  Mereka bertiga sempat berpandangan agak lama.  Baru ketika pengemis tua menundukkan wajah, gantian Maryunah dan Nyanya Besar beradu mata.  Saling pandang yang tidak biasa.  Raut wajah mereka menunjukkan isyarat yang mendalam.  Seolah dua orang yang "berilmu tinggi" berdialog mata batin.  Dan memang demikian adanya.  Mereka berdua berdialog lewat mata.

"Harusnya Nyonya yang memberinya derma, harusnya Nyonya yang membelikannya kolak pisang", mata Maryunah tak berkedip memastikan kata batinnya didengar.

"Harusnya kamu, Maryunah.  Kamu yang menjual kolak pisang.  Dagangan kamu yang membuatnya punya keinginan, seperti juga saya punya keinginan membeli ketika melihat daganganmu", mata Nyonya Besar memandang tak kalah tegas menolak pendapat Maryunah.

"Ini dagangan Nyonya, hidup saya ditentukan oleh keuntungan dari dagangan ini.  Saat ini saya belum hidup.  Hidup saya nanti setelah dagangan ini laku.  Beda dengan Nyonya yang sudah punya kehidupan sebelum Nyonya datang ke sini.  Kedatangan Nyonya menjadi jalan buat kehidupan saya dan juga pengemis tua itu".

"Tidak bisa begitu.  Kenapa harus saya terus.  Kenapa saya musti dipersalahkan atas posisi hidup saya".

"Tapi Nyonya juga tidak mau dipermalukan, bukan? Dipermalukan karena melihat nanti saya yang harus berbuat kebaikan, bukan Nyonya yang kasat mata seharusnya mampu berbuat?"

Lama mereka berdua berpandangan, sampai-sampai pengemis tua memandang penuh keheranan.

Kemudian mereka berdua tersenyum.  Maryunah meneruskan menyiapkan pesanan Nyonya Besar.

"Tujuh puluh ribu", kata Maryunah setelah selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun