Seekor anjing lewat depan rumah saat saya sedang memandangi langit gelap mencoba mengira-ira apakah malam ini hujan akan turun. Tiba-tiba saya teringat cerita tentang orang pintar yang piawai meramal nomor togel.
Sebut saja namanya Semprong si maniak togel yang tak kenal lelah mencari wangsit, demi menggapai harapan menjadi jutawan lewat jalur tak lumrah. Selain mencari wangsit di tempat-tempat angker, dia juga rajin mendatangi orang-orang pinter. Di antara orang pinter itu adalah Mbak Joprak, yang terkenal nyleneh dalam memberikan petunjuk. Jadi apapun yang di dengar dari Mbah Joprak dan apapun perlakuan yang diterima dari Mbah Joprak harus diterima dengan pikiran positif karena di dalamnya tersirat petunjuk yang bisa menghantarkannya ke masa depan gemilang dalam kancah perjudian.
"Anjing, keluar kamu dari sini!" teriak Mbah Joprak dari dalam rumah ketika Semprong baru saja menginjakkan kaki di halaman Mbah Joprak. Semprong tidak peduli, merangsek maju lebih mendekati rumah.
"Anjing, pergi!" berikutnya Mbah Joprak teriak lagi seraya melemparkan sandal jepit berbahan ban bekas.
Semprong berdiri sesaat, kemudian berbalik arah. Takut jika berikutnya kursi kayu yang dilemparkan Mbah Joprak.
"Sebelas, pasti sebelas!'" tiba-tiba otak cerdas Semprong menemukan jawaban. Dalam kitab 1000 Tafsir Mimpi, dituliskan angka-angka untuk binatang. Anjing = 11, kera = 23, bekicot 02, dan sebagainya. Umpatan dan usiran Mbah Joprak bukan bermaksud jelek, justru bermaksud baik memberikan petunjuk angka dengan isyarat. Semprong yakin akan hal itu. Orang pinter memang sukanya begitu, memberi petunjuk yang samar-samar, demikian Semprong meyakini sebuah sikap positif terhadap segala ucapan dan tindakan orang pinter. Apapun yang dikatakannya pasti mengandung maksud, hanya saja tidak setiap orang mampu mencernanya.
****
Apakah hanya Semprong yang berpendapat demikian? Saya kira tidak. Banyak orang yang rela "membodohkan" diri sendiri ketika berhadapan dengan orang lain yang sudah terlanjur dianggapnya pintar, cerdas, dan berwawasan luas. Apapun yang dikatakan orang lain tersebut selalu dianggap benar. Jika ada sesuatu yang terasa tidak benar, buru-buru perasaan diri sendiri itu ditepisnya dan mencoba sekuat tenaga mencari tafsir positifnya. Jikalau tetap saja tafsir positif itu tidak ketemu, jalan yang ditempuh adalah "membodohkan" diri sendiri yang tak mampu menggali tafsir.
Apakah saya terbebas dari sifat itu? Jelas saja tidak. Masih sering saya "membodohkan" diri ketika tidak bisa mengerti apa makna dibalik perkataan orang yang terlanjur saya anggap pintar. Ingin sebenarnya untuk tidak bersikap demikian, akan tetapi apalah daya, gebyar kehormatan yang melekat padanya sedemikian jauh melampaui pencapaian saya. Hal ini membuat jiwa kerdil ini ragu untuk sekedar menyampaikan satu definisi bahwa beras itu adalah padi yang sudah dibuang kulitnya.
"Belajar lagi ge!" Ini ucapannya yang saya takutkan. Dan saya tidak suka mendengarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H