Ini adalah kisah saya yang sudah beruban. Kisah yang menjengkelkan sekaligus menggelikan. Rambut saya mayoritas sudah putih, walaupun sebenarnya belum cukup umur untuk menyandang kehormatan sebagai Pak Uban. Uban di kapala saya saya biarkan tanpa dicat, soalnya saya takut reaksi alergi yang mungkin timbul dari bahan kimia cat rambut. Ayah saya pernah mengalaminya. Tidak menutup kemungkinan sayapun juga bisa alergi.
Suatu siang saya duduk santai di ruang tamu. Pintu terbuka sehingga orang yang lewat jika menoleh pasti bisa melihat saya. Di halaman saya menanam pohon mangga baru setinggi pagar rimbun daunnya. Tiba-tiba ada seraut wajah nyembul dari balik dedauanan tersenyum ramah kepada saya.
"Ada apa, Pak?" saya bertanya karena dia mengucapkan sesuatu yang saya tidak mendengarnya.
"Mau pasang gigi palsu, Pak?" jawabnya masih dengan senyumannya yang ramah. Senyuman yang tadinya saya lihat ramah itu tiba-tiba terlihat mentah.
"Masih utuh!" jawab saya rada sewot. Bagaimana tidak, dari posisinya dia berdiri dibalik dedauanan itu pasti dia hanya melihat warna rambut saya. Hanya dengan dasar itu saja dia menawarkan saya gigi palsu.
Belum hilang dari ingatan peristiwa itu, ada kejadian susulan yang lebih membuat enek. Suatu sore saya berjalan menggandeng tangan anak lelakiku yang baru berusia empat tahun. Dari belakang, saya dikagetkan oleh suara yang memanggil saya.
"Pak, Pak, mau pasang gigi palsu?"
Spontan saya menoleh. Lha dalah kambing guling kurang garam, ternyata yang berbicara adalah orang yang tempo hari wajahnya nyembul dari balik daun mangga. Tanpa bicara apa-apa saya meringis demonstratif menunjukkan gigi padanya. Ingin rasanya saya brakot, saya kunyah-kunyah orang itu. Atau saya kasih uang saja 14 juta biar enyah dari hadapan saya. Duwite Mbahmu opo piye?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H