Kebebasan pers tidak mungkin lagi dibungkam, karena amanah dari konstitusi. Tapi kebebasan yang tidak terbatas juga akan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada sementara pihak yang menilai bahwa pers Indonesia sudah kelewat bebas bahkan kebablasan. Pers tidak lagi memberitakan secara berimbang, bahkan sudah menjadi corong kekuatan politik dan uang, pers demikian mengusung motto maju tak gentar, membela yang bayar.
Beberapa tokoh penting di Negara ini pernah mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi ke-pers-an. Tatkala menyampaikan pernyataan pers di kediamannya, Puri Cikeas (11/07/2011), Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melontarkan sinyalemen bahwa pers telah memecah-belah partainya, terkait dengan gencarnya pemberitaan mengenai kasus mantan bendahara umum partai M Nazaruddin. Yudhoyono merasa gusar dengan pers yang menyoroti konflik partai dengan mendasarkan pada SMS dan BlackBerry Messenger (BBM) seraya melontarkan spekulasi adanya intrik politik di balik pemberitaan media untuk mendiskreditkan partainya. Gusar karena media menggunakan pesan pendek yang menurutnya tidak valid, sebagai materi headline. Dia mewanti-wanti publik jangan mau dipecah-belah.[1]
Fenomena kebablasan pers juga menyerempet kepada pornografi. Hal ini terlihat dari kasus terbitnya majalan Playboy beberapa tahun lalu dan tayangan sinetron di beberapa televisi. Selain itu muncul pula pemberitaan yang provokatif dan dramatisir terhadap beberapa kasus konflik di tana air.
Tayangan dan pemberitaan sadis menjadi tontonan sehari-hari bagi bangsa ini. Televisi misalnya berlomba-lomba membuat program kriminal, seperti sergap, buser, sidik, brutal dan program lainnya. Tidak ketinggalan koran-koran menyanyikan gambar dan tulisan sadis yang sangat mengerikan. Beberapa konflik di tanah air ikut ditayangkan langsung di berbagai media nasional serta memperoleh rating tinggi. Hal ini pun dijustifikasi dengan mengatakan berita tersebut memiliki nilai tinggi, menarik dan actual. Betapa sadisnya ketika siaran langsung televisi menyiarkan konflik di Tanjung Priok. Secara terang benderang orang saling bacok diperlihatkan, orang menyeret korban dengan bergelimang darah  pun disiarkan tanpa sensor.
Meskipun banyak orang berpendapat pers telah kebablasan, ada pandangan sebaliknya, yang mengatakan bahwa pers sudah menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Oleh karena itu, menurut kelompok yang belakangan ini revisi terhadap Undang-Undang Pers, sama sekali tidak diperlukan. Bagaimanapun, sistem pers sangat terkait dengan sistem politik yang berlangsung di setiap negara.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Margiono termasuk yang percaya pers sudah berada pada jalur yang benar. Indikatornya adalah tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pers nasional saat ini, melebihi kepercayaan kepada partai politik. Namun dirinya mengingatkan agar insan pers jangan pongah dan arogan, melainkan harus semakin meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H