Mohon tunggu...
Mursyid Hasanbasri
Mursyid Hasanbasri Mohon Tunggu... -

yang mengharapkan manajemen pelayanan kesehatan di Indonesia lebih baik lagi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menolak Pasien? Siapa Takut…

16 Januari 2014   08:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

----

Seorang anak kecil punya masalah menghitung jumlah kue yang tersusun rapi dalam 5 baris dan 4 kolom di sebuah loyang. Karena merasa kesulitan menghitungnya, pernahkah anda menyarankannya untuk bertanya kepada seorang professor matematika di perguruan tinggi ternama? Atau anda sarankan bertanya pada guru matematika di sekolah? Atau cukup bertanya pada ibu atau kakak sang anak?

Apa yang akan terjadi jika seorang profesor di ITB misalnya, didatangi ratusan anak kecil setiap hari yang bertanya tentang bagaimana menghitung jumlah kue tadi atau bahkan bertanya bagaimana menjumlahkan pecahan sekalipun?

----

Apakah anda pernah naik pesawat terbang? Pernah kah anda memaksa untuk ikut naik walau tidak dapat tempat duduk? Anda katakana kepada petugas bahwa anda rela untuk berdiri sepanjang penerbangan atau duduk di sela-sela kursi?

Apa yang akan terjadi kalau petugasnya membolehkan anda naik ke pesawat walau kursi sudah penuh?

----

Walau agak didramatisir, kedua contoh skenario di atas dapat dijadikan analogi bagaimana program jaminan kesehatan nasional kita seharusnya dijalankan. Yang pasti, setiap sistem atau program pasti punya aturan, kebijakan atau prosedur yang dibuat sedemikian rupa agar segala sesuatunya berjalan lancar. Kali ini saya ingin mengomentari tentang mengapa rumah sakit begitu takut jika menolak pasien. Pada awal implementasi JKN ini diberitakan setelah diributkan karena menolak pasien, pihak rumah sakit akhirnya tetap merawat pasien walaupun tidak tahu siapa yang harus menanggung biayanya.

Sejak awal seharusnya rumah sakit dan BPJS seharusnya berani menolak pasien yang tidak memenuhi syarat untuk dilayani. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan untuk menolak, seperti

-Karena bukan hanya pasien yang ditolak itu saja yang butuh pengobatan.

-Karena bukan pasien itu saja yang membayar.

-Karena rumah sakit punya kapasitas terbatas.

-Karena sudah ada mekanisme yang mengatur tata cara berobat.

Dalam praktek kedokteran, seorang dokter boleh saja tidak mengikuti pedoman praktik klinis (atau apa pun nama standarnya) jika menurut pertimbangannya saat itu pasien tidak perlu mengikuti standar yang berlaku. Apa syaratnya agar tindakan dokter ini justified? Asal sang dokter menuliskan mengapa dia melakukannya. Sepanjang dokter memiliki bukti atau data yang menunjang (evidence-based practices) dan siap mempertanggungjawabkannya, maka no problem untuk “melanggar” standar atau prosedur (CMIIW).

Berkaca dari praktik tersebut, seharusnya tidak ada masalah kok menolak pasien. Apa syaratnya boleh menolak pasien? Ya asal ada alasan yang kuat.

-Suatu klinik di rumah sakit sudah menerima pendaftaran 18 pasien. Rata-rata pemeriksaan dokter selama ini 10 menit.  Maka 18 pasien tadi akan dilayani dokter dalam 3 jam. Sementara waktu prakteknya 3 jam. Bolehkah petugas menolak pendaftaran pasien ke 19? Boleh dong. Mengapa? Karena dokternya punya jadwal lain entah mengajar, melakukan operasi atau hal penting lainnya. Kalau ini sudah sore atau malam hari, dokternya sudah lelah, dan kalau diteruskan maka akan beresiko pada proses diagnosis. Andaikan seorang dokter praktik di 2 tempat secara berurutan. Jangan sampai seorang pasien ketika menjadi pasien dokter tersebut di tempat praktik pertama ingin memaksa diperiksa walau waktu sudah habis, tetapi ketika menjadi pasien di tempat praktik kedua, tidak mau menunggu dokternya.

-Di instalasi rawat inap pasien sudah penuh. Apakah boleh menolak pasien? Boleh dong. Kalau diterima, mau dirawat di mana? Di gang? Ingat, semua pasien juga ingin cepat sembuh. Persis seperti semua penumpang ingin sampai tujuan. Jika adanya pasien mengganggu pelayanan atau proses penyembuhan yang lain, bukankah mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya.

-Seorang pasien masuk angin karena semalam kebagian ronda. Paginya pasien ini berangkat ke RSHS di bandung. Apakah boleh pasien ini ditolak? Boleh dong. Karena seharusnya (konon) ada 144 jenis diagnosis penyakit yang dapat ditangani oleh puskesmas atau dokter praktik. Bukankah saat ini adalah saat yang tepat untuk mensosialisasikan sistem rujukan? Kalau tidak maka pasti suatu waktu nanti diperlukan sosialisasi ini lagi. Dalam bidang pelayanan, ada prinsip jika menyangkut hal yang tidak menyenangkan, buatlah hal itu sekali saja atau sesedikit mungkin. Tapi kalau menyangkut hal yang menyenangkan, maka buatlah sesering mungkin kejadiannya.

Tidak perlu disampaikan contoh kasus lain, karena dokter atau rumah sakit akan punya pertimbangan sesuai dengan kondisinya masing-masing.

Tentu saja dalam penolakan pasien ini ada hal-hal yang sudah menjadi norma sehingga ada pengecualian. Misalnya pasien gawat darurat,  dokternya kebetulan free, atau situasi lainnya. Hidup ini bukan hitam putih, ya atau tidak semata. Ada banyak gradasi antara hitam dan putih. Namun yang paling penting, sepanjang sesuatu dapat ditegaskan hitam jika hitam, putih jika putih, mengurangi hal yang abu-abu, insya Allah hidup akan lebih jelas.

Poin terpenting dari tulisan ini adalah jangan menganggap bahwa menolak pasien itu selalu salah. Kalau menolak pasien karena pasien miskin, ya itu rumah sakitnya yang “sakit”. Jelas ini bukan contoh alasan yang dapat diterima.  Selama penolakan itu membawa manfaat bagi diri dan orang banyak, menolak pasien, siapa takut…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun