Mohon tunggu...
Mursyid Hasanusi
Mursyid Hasanusi Mohon Tunggu... -

vamos

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

LNG Tangguh dan Agenda Renegosiasi

8 Mei 2013   16:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:54 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia saat ini memiliki cadangan gas bumi yang sangat melimpah, yaitu sekitar 152,89 triliun standard cubic feet (TSCF). Dengan produksi gas per tahun sebesar 471.507 MMSCF, cadangan gas di perut bumi Indonesi bisa cukupdikonsumsi lebih dari 40 tahun ke depan. Namun, karena pemerintah jor-joran mengimpor produksi gas nasional, industry dalam negeri kekurangan gas, termasuk PT Perusahaan ListrikNegara (PLN), perusahaan penyedia listrik milik negara yang begitu banyak butuh pasokan gas

Terkait renegosiasi kontrak karya pertambangan di Indonesia ada kabar  mengembirakan. China dikabarkan sepakat untuk melakukan renegosiasi harga penjualan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) Tangguh.

Kabar baik itu diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui account twitter @SBYudhoyono setelah menerima laporan dari Kepala Satuan Kerja Khusus Migas Rudy Rubiandini pada Selasa (7/5) lalu. Kesediaan China untuk melakukan renegosiasi harga penjualan LNG Tangguh merupakan salah satu inti laporan terbaru Satuan Kerja Khusus Migas kepada presiden

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, China sepakat  melakukan renegosiasi harga penjualan LNG Tangguh, sehingga Indonesia mendapat besaran nilai yang baik.   Pemerintah mengusulkan harga jual gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) dari kilang Tangguh di Teluk Bintuni Papua Baran ke Provinsi Fujian, China mengacu pada pergerakan harga di internasional. Hatta Rajasa, Menteri Perekonomian, mengatakan renegosiasi harga tersebut dilakukan karena harga ekspor LNG ke Fujian, China jauh di bawah harga internasional.

Renegoisasi LNG Tangguh memang telah sejak lama menjadi salah satu agenda besar pemerintah di bidang pertambangan. Kebutuhan untuk melakukan negosiasi ulang LNG Tangguh dengan China didasarkan pada realitas miris acuan harga jual sesuai tender pertama kali ketika masa pemerintahan Megawati lalu sangat merugikan negara, terutama ketika harga gas meningkat saat ini.

Harga jual gas alam cair dari kilang Tangguh ke China saat ini sebesar US$ 3,35 per juta thermal unit (mmbtu), jauh lebih kecil dibandingkan harga eskpor LNG dari kilang Badak yang dikelola PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur ke pembeli dari ke Jepang yang mencapai US$ 16 per mmbtu.

Tidak dapat dimungkiri selama ini bangsa Indonesia memang hampir tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari keberadaan perusahaan-perusahaan pertambangan asing di negara ini. Kita hanya bisa gigit jari ketika perusahaan tambang asing menikmati lonjakan laba tinggi seiring tren kenaikan harga komoditas. Mereka seringkali tidak transparan mengenai hasil produksi mereka.

Memang, pemerintah mendapat pemasukan dari pajak dan royalti, tetapi tentu jauh lebih bermanfaat jika renegoisasi kontrak karya dapat dilakukan sehingga pemerintah dapat memiliki keuntungan dan peran lebih besar –seperti kepemilikan saham– ketimbang di masa-masa terdahulu. Selain itu, renegoisasi juga dapat membuka peluang bagi pemerintah untuk melakukan kontrol mengingat tidak sedikit keluhan yang muncul terkait dampak lingkungan dari keberadaan perusahaan-perusahaan pertambangan.

Masalah renegoisasi kontrak karya memang telah lama menjadi salah satu agenda besar dan strategis bangsa Indonesia. Selama ini perusahaan-perusahaan tambang asing seringkali tidak transparan soal hasil produksi mereka. Bangsa Indonesia hanya bisa gigit jari ketika perusahaan tambang asing menikmati lonjakan laba tinggi seiring tren kenaikan harga komoditas.

Kasus eksplorasi dan eksploitasi tambang PT Freeport Indonesia di tanah Papua seringkali dijadikan sebagai contoh untuk menggambarkan realitas itu. Kontrak karya PT Freeport Indonesia pertama kali ditandatangani pada tahun 1967. Kontrak karya itu diberikan kepada Freeport sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah seluas 10 km persegi.

Pada tahun 1989, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan untuk 61.000 hektar. Lalu, pada tahun 1991 penandatanganan kontrak karya baru dilakukan untuk masa 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun. Ini berarti kontrak karya PT Freeport Indonesia baru akan habis pada tahun 2041.

Namun, PT Freeport Indonesia sejauh ini hanya memberikan royalti sebesar 1 persen untuk emas dan 1,5-3,5 persen untuk tembaga bagi pemerintah Indonesia. Padahal, dalam aturan royalti pertambangan pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak disebutkan royalti emas ditetapkan sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonase.

Selain PT Freeport Indonesia, satu perusahaan tembaga asing lain yang juga bercokol di Indonesia adalah PT Newmont Nusa Tenggara. PT Newmont Nusa Tenggara menandatangani kontrak karya dengan pemerintah Indonesia pada tahu 1986 untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

Memang, bukan hal mudah untuk merealisasikan renegoisasi kontrak karya dan melakukan pengelolaan (kembali) sumber daya alam secara lebih menguntungkan bagi kepentingan nasional. Dibutuhkan keberanian dan nyali besar dari pemerintah untuk berhadap-hadapan dengan perusahaan-perusahaan tambang asing sekelas PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Meskipun demikian, hal itu bukan berarti tidak dapat direalisasikan. Bagaimana pun renegoisasi kontrak karya dan melakukan pengelolaan (kembali) sumber daya alam memiliki arti sangat penting agar keuntungan melimpah bisnis tambang dan eksplorasi sumber daya alam tidak dinikmati segelintir pihak saja.

Pandangan penulis, kegiatan eskpor memang sangat menguntungkan untuk menambah cadangan devisa tetapi disisi lain pemerintah juga harus mengutamakan kebutuhan domestik dan alangkah baiknya hasil gas alam segera dialokasikan terlebih dahulu untuk kebutuhan masyarakat walaupun kegiatan eskpor tersebut hanya sampai 2016. Apalagi saat ini Indonesia memiliki cadangan gas bumi yang melimpah sehingga jangan menjadi ajang untuk melakukan ekspor. Dalam hal ini diharapkan BP Migas, Menteri ESDM harus berhati-hati mengambil kebijakan mengingat perusahaan domestic itu sendiri membutuhkan banyak pasokan gas.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun