Mohon tunggu...
Mursyidan Afdlola
Mursyidan Afdlola Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

I'am Mursyidan Afdlola Student of IPICOM (International Program Islamic Communication) University Muhammadiyah of Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Stoikisme, Mengapa Kita Harus Bersikap Tenang Dalam Menghadapi Permasalahan Hidup?

7 Desember 2024   23:11 Diperbarui: 7 Desember 2024   23:14 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berbicara mengenai filsafat stoikisme dapat menjadikan hidup kita menjadi lebih tenang dan damai. Fisafat stoikisme memiliki definisi begitu sangat luas, filsafat stoikisme merupakan salah satu ilmu filsafat yang dipopulerkan oleh Zeno seorang filsuf Yunani kuno di kota Athena. Stoikisme juga merupakan pemikiran yang diformulasikan oleh Aristoteles dan Plato, namun ada beberapa perbedaan dari keduanya dalam pembagian objek kajian. Socrates dan Plato mendistribusikan filsafat dalam empat bagian yakni: logika, etika, fisika, dan metafisika, sedangkan stoikisme hanya mendistribusikan dalam tiga bagian yakni: logika, etika, dan metafisika; metafisika tergolong dalam fisika [1]. Mendefinisikan bahwa filsafat stoikisme secara sederhannya adalah puncak kebahagian dari seseorang adalah bagaimana ia bisa terlepas dari sifat buruk diri sendiri dan orang lain. Secara tidak langsung makna ini berkaitan dengan agar selalu bersikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.

Pemaknaan filsafat stoikisme dibagi dalam dua aspek, yang pertama adalah aspek internal yang membahas tentang kontrol kendali emosi dalam diri kita sendiri, dan yang kedua adalah aspek eksternal yakni kontrol kendali emosi orang lain, seperti tanggapan orang lain tentang diri kita, bagaimana orang lain melihat dan menilai diri kita. Aspek internal juga merupakan aspek yang menarik tentang pengolahan kontrol kendali emosional seseorang, dan semua yang sudah menjadi kontrol diri kita sendiri kita akan merasa lebih tenang dalam menghadapi permasalahan hidup saat ini seperti, apa yang kita inginkan sudah tercapai dengan ekpetasi yang kita rancang, sehingga ketika pencapaian itu sudah kita dapatkan, maka kita akan merasa sangat tenang, puas dan logowo.

Ketika meninjau dari aspek eksternal tentang orang lain dapat menilai diri kita, mempermasalahkan kehidupan kita maka hal seperti ini lah yang membuat kita selalu berfikir negatif ketika kita belum bisa menerima di internal kita, dan berhujung akan menimbulkan penyakit iri dengki. Semua permasalahan hidup yang kita jalani akan terombang-ambing dalam diri kita sendiri karena kita selalu melihat dari prespektif dan penilaian orang lain, selalu menganggap diri kita serba kurang dengan orang lain, selalu menganggap diri kita lebih rendah daripada orang lain. Maka dari itu filsafat stoikisme dapat menjadi salah satu obat penyembuh dalam mengendalikan kontrol emosi diri.

Konsep stoikisme memiliki tujuan utama yakni “hidup selaras dengan alam” dengan maksud agar lebih mengutamakan rasionalitas dan penalaran [2]. Dari kutipan tersebut kita bisa mengambil nilai bahwasanya akal juga sangat berpengaruh dalam mengontrol diri, karena rasa kecemasan, pikiran negatif, ingin dipuji banyak orang itu munculnya dari akal yang menghasut pikiran dan sampai terbawa ke perasaan hati. Lalu apa yang membuat seseorang masih belum bisa bersikap tenang ketika menghadapi permasalahan hidup? Karena masih ada yang belum benar dari dirinya sendiri baik dari segi internal maupun eksternal.

 

Di era zaman sekarang filsafat stoikisme sangat relevan terhadap anak muda, melihat bagiamana anak muda sekarang begitu banyak mendapat tekanan permaslaahan hidup, mulai dari permasalahan keluarga, finansial, dan apek sosial. Dengan tekanan demikian, banyak yang berujung untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ini menjadi salah satu hal yang sangat disayangkan, kerena mereka tidak akan pernah menikmati masa kesuksesan dengan menggapi cita-cita mereka dan harus terhenti dengan bunuh diri tersebut.

Menurut Aris Setiawan [3] ada dua sebab kesulitan yang pertama saat kita masih kanak-kanak, yang mana semua permasalahan yang kita hadapi saat itu biasanya akan di selesaikan oleh orang tua, sehinnga saat remaja ia tidak memiliki pengalaman saat mengatasi suatu masalah. Selanjutnya saat remaja, sudah merasa mulai bisa mengatasi permasalahan sendiri, dan menolak saran dari orang yang lebih dewasa atau tua. Pada masa perpindahan usia kanak-kanak ke remaja mereka belum mengerti bagaimana cara harus mengambil sikap dengan tenang dalam menghadapi berbagai macam problematika yang ia hadapi, dan kebanyakan remaja sekarang juga belum mengetahui bagaimana cara melakukan problem solving yang baik, yang mereka inginkan hanya hasil yang instan saja. Maka filsafat stoikisme ini yang membahas bagaimana cara kita untuk merubah pola pikir agar kita bisa menggunakan individu kita baik secara internal maupun eksternal untuk selalu berbuat pada kebaikan.

Keselarasan antara teori filsafat stoikisme dengan pengendalian diri adalah sebuah keterbukaan yang baik pada diri kita sendiri. Dengan demikian kita dapat lebih bisa mengontrol bagimana tindakan kita ketika sudah melewati batasnya. Contohnya adalah misalnya kita akan mebuka suatu usaha dengan berbagai ekspetasi yang kita pikikrkan, ketika kita tau bahwa nantinya akan gagal, tidak laku, kurangnya inkam yang masuk, dan berbagai macam permasalahan lainnya, akan tetapi disamping itu kita juga punya ekspetasi positif seperti, ketika usaha kita maju, kita akan sukses, kita akan kaya. Kemudian ketika realitanya sudah terjadi maka kita akan menerimanya, karena sudah sesuai dengan apa yang kita rencanakan.

Begitu juga dengan permasalahan hidup yang tak kunjung usai, andai saja kita tidak terlalu begitu peduli dengan omongan orang lain dan fokus pada diri kita sendiri, kita akan merasa hidup kita lebih tenang. Selain itu tidak ada salahnya juga ketika kita menerima kritikan dan masukan dari orang lain juga, guna untuk merefleksi agar kita juga tidak termasuk kedalam golongan orang yang sombong dan angkuh ketika berada di tengah-tengah masyarkat. Kerena hal demikian juga merupakan salah satu hal yang positif bangi peningkatan value personal branding.

Filsafat stoikisme juga memberikan kita pelajaran untuk tidak insecure atas pencapaian orang lain, karena ketika kita mengikuti zaman itu tidak aka nada habisnya. Seperti kita harus mengikuti lomba lari, padahal kita tidak punya fashion dibidang tersebut dan mau tidak mau kita juga harus lari. Melihat orang lain beli ini itu, kita juga beli ini itu, melihat orang lain pencpaiannya sudah sangat tinggi dan kita masih stak di fase ini,kita juga merasa insecure. Padahal kita sendiri juga memiliki standarisasi dalam hidup ini, rasa insecure inilah juga yang membuat kita tidak tenang dan selalu ada rasa gelisah. Terakhir penulis ingin menyampaikan bahwasanya hidup itu kita yang atur, kita yang punya standar kita sendiri, maka gunakan sebaik-baiknya akal pikiran kita dengan maksimal jangan mudah terpengaruh oleh omongan orang dan jangan lupa bersyukur, karena sudah termasuk salah satu point bagaimana kita bersikap tenang dalam menghadapi permasalahan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun