Al-Qur'an sebagai kalam Allah, secara teologis, berbicara pada level tataran bahasa dan substansi wahyu. Kemudian sebagian ahli kalam seperti Mu'tazilah, Maturidiyah, dan As'ariyah memiliki pendapat berbeda dalam hal ini.Â
Kemudian menerjemahkan al-Qur'an ke dalama bahasa lain berarti mengabaikan aspek lisan (bunyi) yang sangat kuat dari jalinan kalimat bersajak, bunyi akhir dan aspek puitis kata-kata Arab yang harmonis.Â
"Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Al-Qur'an yang berbahasa Arab" Ayat ini menegaskan keterkaitan yang tidak tergantikan antara bahasa dan substansi wahyu, karenanya terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa apapun tidak bisa disebut sebagai "al-Qur'an".Â
Selanjutnya terdapat sebuat pertanyaan apakah al-Qur'an diciptakan? Ahmad Hambal mengatakan bahwa ia adalah Kalam Allah, ia tidak dapat menambah keterangan lagi.Â
Pada tataran akademis, kaum As'ariyah dan Maturidiyah telah mengembangkan sebuah analisis makna dan kebahasaan yang membedakan antara kata-kata al-Qur'an yang dibacakan (Penanda) dan makna yang ditangkap (petanda).Â
Pemahaman bahwa al-Qur'an yang tertulis dan terbaca merupakan petanda firman Tuhan tidak diterima oleh semua mazhab pemikiran, pengikut mazhab Hambali umumnya mengikuti penolakan guru mereka, Ahmad ibn Hambal, untuk menggambarkan Al-Qur'an dengan istilah selain yang dilukiskan sendiri oleh al-Qur'an.Â
Akibatnya ulama As'ariyah dan Maturidiyah menganggap pandangan Hanbaliyah itu terlalu vulgar dan antropomorfis. Akhirnya, meskipun diskusi tentang kedudukan al-Qur'an belum jelas bagi kebanyakan umat Islam, Isu itu menjadi salah satu aspek agama yang dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai mazhab pemikiran.
Dalam konteks al-Qur'an sebagai arsitektur suci, bacaan al-Qur'an memenuhi atmosfir komunitas Islam, dari segala penjuru. Sebagai contoh, tulisan al-Qur'an dalam bentuk kaligrafi dan ukiran menghiasi masjid dan tempat tinggal. Di berbagai wilayah dunia Islam, kaum muslimin mengadopsi unsur-unsur budaya lokal yang diterapkan pada masjid.Â
Namun, masih tetap mempertahankan struktur utama masjid Nabi di Madinah dan menghindari gambar patung yang melukiskan wujud Tuhan, kemudian menggantinya dengan tulisan kaligrafi. Â Dengan penuh kehati-hatian agar tetap menegaskan kesakralan sebuah tempat.
Kesucian ritual, al-Qur'an adalah kitab suci tang boleh disentuh dalam keadaan suci. Ayat al-Qur'an memiliki tingkatan makna yang berbeda-beda. Namun, hanya mereka yang suci hatinya yang mampu menyelami makna al-Qur'an secara mendalam. Â Penyucian lahiriah dapat membantu seorang mukmin mencapai kesucian ruhani, sebagaimana kisah Ummar bin Khattab.Â
Dalam konteks ritual, al-Qur'an dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit fisik maupun ruhani. Banyak orang yang menggunakan air putih yang dibacakan al-Qur'an digunakan sebagai obat