Agama dipandang sebagai sistem yang mengatur makna dalam kehidupan manusia, yang mana sebagai titik temu bagi seluruh realitas. Agama berperan sebagai pendamai pada kenyataan-kenyataan yang saling bertentangan. Segala jenis gejala sosial, persekutuan dan segala mecam institusionalisasinya hidup beragama merupakan kenyataan manusiawi yang mempunyai keterbatasanya juga. Apa yang dialami  dalam persetukuan, disadari atau tidak mendorong manusia secara individual maupun kolektif untuk melaksanakan dalam hidup
Manusia adalah makhluk sosial yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Perubahan dalam satu bagian dapat mempengaruhi bagian yang lain. Seiring dengan berjalanya waktu, (walapun dari tuhan) karena manusia yang memeluknya sehingga menjadi beragam.
Baik dari segi politik, ekonomi dan sosial. Perubahan tersebut terjadi karena adanya perkembangan berupa sekte maupun mazhab. Jika kita lihat, setiap agama melahirkan kelompok. Namun semua itu bersifat manusiawi dan wajar. Bahkan tidak ada satu agama pun yang bertahan berabad-abad dengan melewati berbagai budaya hanya melahirkan agama tunggal.
Dalam Islam, seriring dengan berjalannya waktu juga memiliki tanda-tanda manusiawi dengan adanya banyak perbedaan dalam agama itu sendiri. Entah itu NU (Nahdhotul Ulama), Muhammadiyah, dan FPI, LDII, PKS dan yang lainnya. Dengan demikian, masyarakat memili banyak variasi dalam beragama, sesuai dengan keragaman masyarakat itu sendiri.
Namun, diantara golongan tersebut menolak tradisi dan budaya yang selama ini telah melekat dalam diri agama itu sendiri. Dengan dalih memperjuangkan agama, mereka ingin menggantinya dengan budaya dan tradisi asing dari Timur Tengah, terutama budaya dan kebiasaan Wahabi-Ikwanul Muslimin. Mereka kuramg paham dan kurang mampu membedakan agama dari kultur tempat Islam diwahyukan. Dan menganggap kafir jika tidak sesuai dengan mereka. Bahkan mereka siap berjuang, dengan dalih memperjuangkan "Agama"
Al-Hujwiri mengatakan, "Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau merumuskannnya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang-orang menyerang hakikat-Nya"
Kita harus sadar, bahwa jika Islam diubah menjadi ideologi politik, maka ia akan menjadi sangat sempit karena dibingkai dengan batasan-batasan ideologis dan platform politik. Dengan begitu pemahaman mereka akan berbeda dengan kita, apapun yang bertentangan dengan mereka, maka akan dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri. Bahkan banyak diantara mereka yang membid'ah-kan segala sesuatu yang dianggap berbeda dengan Islam di jaman Rosulullah.
Dijaman sekarang ini, orang gemar mengkafirkan orang lain dan menghujat kelompok lain. Banyak terlihat di sosial media, majalah Islam, bahkan pidato para mubaligh dna da'i. Orang yang berpenampilan muslimah, dan dianggap syar'i banyak yang dijadikan panutan. Padahal kita belum mengenalnya lebih dalam, mengenal keilmuannya. Bahkan tak jarang dari mereka yang baru saja masuk Islam, namun sudah langsung melambung tinggi dengan mengisi ceramah kesana sini.
Terkadang, dalam sosial media orang yang yang sering memposting tentang keagamaan akan dianggap sebagai panutan. Tak sedikit orang yang menjadi pengikutnya. Baik dilihat dari segi follower ataupun yang secara tidak langsung meniru gaya hidupnya.
Menurut Gus Dur, "Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan pada serangan orang. Kebenaran Allah tidak berkurang sedikitpun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tentram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela,walaupun tidak juga menolak dibela.Â
Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa selanjutnya.
Dalam hidup beragama, kita harus memahami secara utuh bahwa menjalani agama bukan menyangkut inti keimanan dan peribadatan formal saja, melainkan ruhnya. Islam tetap Islam, dimana saja ia berada. Akan tetapi tidak berarti harus disamakan 'bentuk luar' nya.