Kembali ibu menutup kisah tentangmu dengan gerimis di pelupuk mata. Terlantun puja dari bibirnya, "Ingatlah Nduk, dialah seniman sejati."
Ada yang telah pecah di ceruk dadaku, ingatan tentangmu membayang di udara.
Cintamu pada keluarga.
Cintamu pada anak-anak negeri.
Cintamu pada budaya, menjadikan malam tak lagi sunyi.
Kau rangkum pakem dalam petuah bijak diselingi banyolan. Kau ramu kata dan syair untuk membangkitkan kembali tradisi yang tergerus zaman. Bagimu dalang bukan sekadar memainkan cerita. Tak hanya mumpuni menggerakkan wayang.Â
Di sini, di bumi hatiku.
Aku bercermin dari perjalananmu.
Lewat tembang macapat pitutur lembutmu menyapa telingaku.
Aku menuliskan patah-patah dengan pena bangga dalam tinta doa.
Maka setulus hati kutaburkan setangkup melati di pusaramu. Tetaplah lelap dalam tidur panjangmu, biar kubisikkan selarik kata ini kedalam cinta yang kita punya.
Sekali lagi kuhaturkan segala hormat; Simbah.Â
_MT, Mosar, 061121
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H