Mohon tunggu...
Murni Du Di Dam
Murni Du Di Dam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bernama asli Murni Oktarina. Dari lahir hingga saat ini tetap tinggal di kota Palembang. Pegawai BLU di Universitas Sriwijaya ini memiliki hobi membaca dan menulis fiksi. Untuk berkenalan bisa menghubunginya di murni.dudidam@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

SERPIHAN ASA DI SUNGAI MUSI

4 Maret 2015   22:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:10 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hasan, anak laki-laki berusia sembilan tahun, sedang termenung di pinggiran Sungai Musi. Matanya menyapu seluruh permukaan air yang bergelombang karena baru saja dilewati perahu motor dan ketek. Matanya juga tak luput pada jembatan tinggi kokoh di atas Sungai Musi. Jembatan Ampera, penghubung daerah Sebrang Ulu dan Sebrang Ilir, seringkali membuat kagum Hasan karena kuatnya jembatan itu menahan beban dari ribuan kendaraan yang berlalu lalang di atasnya.
Hasan baru menyadari jika hari mulai petang karena langit kebiruan sudah tergantikan langit jingga yang memancarkan kehangatan. Burung-burung beterbangan sehingga membentuk bayangan di atas permukaan air Sungai Musi yang sudah tenang kembali. Hasan berdiri lalu dihirupnya napas dalam-dalam.
“Aku tahu jika ini mustahil, namun apakah salah jika aku bermimpi yang tinggi?” kata Hasan pelan sambil menengadah ke atas seakan berbisik pada langit senja.
“Lihat saja, aku akan ke sana walau ayah dan ibuku miskin!” teriak Hasan namun suaranya dibawa angin yang bertiup cukup kencang.
“Hasaaan…, baleklah ke rumah!” teriak ibu Hasan dari dalam rumah.
Hasan pun berlarian menuju rumahnya. Rumah Hasan, sebuah gubuk kecil di dekat pinggiran Sungai Musi. Ibu Hasan bekerja sebagai tukang urut yang pelanggannya tak banyak. Sedangkan ayah Hasan bekerja sebagai pembawa ketek yang mengantarkan penumpang untuk menyeberangi sungai atau mengantarkan penumpang menuju salah satu tempat pariwisata yang bernama Pulau Kemaro.
Kehidupan mereka bisa dibilang kurang mampu. Namun kedua orangtua Hasan masih tetap menginginkan Hasan, anak mereka satu-satunya tetap bersekolah. Kini Hasan duduk di kelas empat SD. Hasan termasuk anak yang penurut dan cukup pintar sehingga teman-teman dan gurunya banyak yang menyukai Hasan. Terkadang teman-teman dan guru Hasan memberikan seragam bekas atau sedikit uang untuk Hasan.
Mak…. Jembatan Ampera dulu dibangun oleh tenaga ahli Jepang, yo?” tanya Hasan sungguh-sungguh pada ibunya yang tengah menggoreng tempe.
“Setahu Mak memang wong Jepang yang membangun jembatan itu, San. Ngapo?” ujar ibu Hasan yang masih sibuk membolak-balik tempe.
“Di sekolah tadi Hasan membaca buku di perpustakaan tentang sejarah Palembang dan pembangunan Jembatan Ampera. Lalu Hasan nanyo Bu Henny, petugas perpustakaan, tentang Negara Jepang. Bu Henny menunjukkan pada Hasan gambar Jepang yang berciri khas bunga sakura. Indah nian, Mak! Ditambah lagi jika musim salju, Jepang jadi putih dan dingin. Hasan ingin ke sana,Mak!” cerita Hasan dengan wajah lugu dan mata yang berbinar-binar.
Ibu Hasan menatap wajah anaknya sesaat lalu tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha…! Hasan, Hasan, ado-ado be anak Mak ini. Jepang itu jauuuh nian! Hasan tidak akan bisa ke sana karena ongkosnya mahal,”
“Kalau Hasan bekerja membantu Bapakdi ketek, terus Hasan dapat uang dan uangnya Hasan tabung. Bisa kan, Mak?”
“Hasan, kalau begitu alangkah baiknya jika uangnya untuk melanjutkan sekolah Hasan atau untuk membantu membeli keperluan makan kita,” kata Ibu Hasan menasihati.
Hasan meninggalkan ibunya. “Mak tidak mengerti keinginan Hasan,” keluhnya dalam hati.
***
“Sudah berapa kali Mak bilang, buku tulis jangan digambar-gambar! Ini untuk menulis bukan menggambar aneh-aneh cak ini!” marah ibu pada Hasan yang tertunduk.
Ngapo ribut-ribut?” tanya bapak Hasan yang baru pulang.
“Ini si Hasan menggambari buku tulisnya sampai habis. Cakmano untuk sekolah besok, uangkatek lagi untuk beli buku tulis,” jawab ibu kesal.
“Hasan, Bapak sudah membelikan Hasan buku gambar kan? Buku tulisnya jangan lagi digambari, yo!” kata bapak lembut sambil menatap wajah Hasan yang sedih.
“Buku gambarnya sudah lama habis, Pak. Hasan tidak enak minta uang lagi dengan Bapak dan Mak,”
Bapak tersenyum kecil, “Jika Bapak punya uang lebih pasti Bapak akan belikan Hasan buku gambar dan krayon yang baru,” janji bapak pada Hasan.
“Hore! Terima kasih, Pak.” kata Hasan bahagia lalu memeluk bapaknya. Ibu Hasan hanya mengeleng-gelengkan kepala melihat Hasan kegirangan seperti itu, lalu ia menuju dapur. Sambil mencuci piring, airmata ibu Hasan berjatuhan. Ia menyesal karena sudah memarahi Hasan yang menghabiskan buku tulis untuk menggambar. Sesungguhnya ia marah bukan karena kelakuan Hasan, tapi ia takut Hasan tidak memiliki buku kosong lagi untuk sekolah.
Ibu Hasan sangat tahu jika putranya itu gemar menggambar. Gambar yang dilukis oleh Hasan rapi dan bagus. Warna yang ia sentuhkan pada gambarnya pun amat pas dan berani sehingga indah untuk dipandang. Sayangnya, di sekolah Hasan pelajaran menggambar tidak ada. Jadi tidak ada yang tahu jika Hasan pandai menggambar.
***
Sebulan telah berlalu. Di siang yang terik ketika Hasan baru saja tiba di rumah sepulang sekolah. Rumahnya sepi karena bapak sedang mencari penumpang dan ibunya pasti mendapatkan pelanggan yang minta diurut. Senyum ceria jelas terukir di bibir anak berambut sedikit ikal dan berkulit sawo matang. Tak sabar ia menunggu kepulangan ibu dan bapaknya untuk mengabari sesuatu yang bahagia.
Tiba-tiba didengarnya langkah kaki masuk ke dalam rumah.
Maaak…! Hasan akan pergi ke Jepang. Hasan akan melihat pohon sakura. Hasan akan naik pesawat ke Jepang, Mak!” teriak Hasan pada ibunya yang baru pulang.
Ibu Hasan menatap Hasan dengan wajah bingung. Hasan mengulurkan map kuning berisi surat-surat. Membaca isi dari surat-surat tersebut membuat ibu Hasan terduduk lemas di lantai. Airmatanya pun berjatuhan dan langsung memeluk Hasan. Hasan ikut menangis dalam pelukan ibunya.

Salah satu gambar Hasan dengan objek Jembatan Ampera terpilih menjadi pemenang tingkat nasional yang akan diikutsertakan pada perlombaan lukis di Jepang. Gambar itu dibawa bapak Hasan ke sekolah satu bulan yang lalu dan ditunjukkan kepada kepala sekolah Hasan. Kepala sekolah Hasan yang baik itu iseng mengirimkan gambar Hasan ke Jakarta. Tanpa disangka-sangka ternyata gambar Hasan tepilih menjadi salah satu dari lima gambar terbaik tingkat Sekolah Dasar seluruh Indonesia.
Impian Hasan ingin menapaki tanah Jepang dan menikmati keindahan negara tersebut akhirnya terwujud. Siapa sangka, anak yang masih berusia Sembilan tahun dengan keadaan ekonomi yang kurang, ternyata mampu terbang ke Jepang lewat gambarnya yang dilukis dengan sepenuh jiwa. Hasan berdiri di pinggiran Sungai Musi sambil menatap Jembatan Ampera. Ia menunggu bapaknya pulang dan akan menceritakan tentang berita bahagia ini sekaligus Hasan ingin mengucapkan terima kasih karena ini semua atas usaha bapaknya juga.
TAMAT
ARTI KATA-KATA
·Baleklah : Pulanglah
·Mak : Ibu
·Yo : Ya
·Wong : Orang
·Ngapo : Kenapa
·Nanyo : Tanya
·Nian : Sangat
·Ado-ado be : Ada-ada saja
·Cak : Seperti
·Cakmano : Bagaimana
·Ketek : Perahu bermesin khas Palembang
·Katek : Tidak ada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun