Menggapai kebahagiaan di hari raya Kurban
-menggunakan teori filsafat kabahagiaan Ibn Farabi-
Di awal bulan agustus ini, umat islam merayakan hari raya Idul Adha, hari raya Kurban. Perayaan ini disyariatkan salah satu tujuannya untuk meneladani kisah penyembelihan nabi Ismail AS oleh ayahnya nabi Ibrahim AS, seperti yang jamak dipahami oleh masyarakat Islam umumnya. Meskipun akhir-akhir ini, mulai muncul lagi wacana perdebatan tentang siapakah yang di sembelih, nabi Ismailkah atau nabi Ishaq-kah? Dua-duanya merupakan anak keturunan dari nabi Ibrahim. Nabi Ismail merupakan anak pertama yang terlahir dari Hajar(beberapa kalangan meyakini sebagai budak nabi Ibrahim), sementara nabi Ishaq terlahir dari istri pertama nabi Ibrahim, yang bernama Sarah. Meskipun riwayat cerita kurban bisa jauh ditarik dari kisah Habil & Qobil, putera Nabi Adam AS. Tetapi tulisan ini, tidak dimaksudkan untuk mengulas perdebatan itu, karena jelas yang pastinya disembelih adalah seekor domba pada akhirnya.
Salah satu unsur dari peristiwa kurban Idul Adha adalah penyucian jiwa, karena sucinya jiwa merupakan syarat kebahagiaan. Untuk menuju pencapaian kebahagiaan, manusia hendaknya melalui proses penyucian jiwa. Karena kebahagiaan hanya bisa dicapai oleh jiwa-jiwa yang suci dan bersih. Jiwa suci bersihlah yang mampu menembus tabir-tabir ghaib, naik ke alam cahaya dan keindahan, begitulah penjelasan seorang filsuf bernama Alfarabi (257 H/870 M). Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Alfarabi-sebuah daerah yang sekarang masuk di wilayah afganistan/kazakhstan-.
Terdapat dalam beberapa karangan Alfarabi tentang level kebahagiaan,(Al -Tanbih Ala-Sabil Al-Sa'adah, Tahsin Al-Sa'adah, AL-Madinah al-fadilah). Mulai yang paling rendah yaitu kebahagiaan yang dipahami oleh orang awam, yaitu kebahagian yang disamakan dengan kenikmatan. Oleh karena itu pilihan syariat dalam tradisi Idul Adha adalah perintah penyembelihan binatang ternak yang akan dimakan dagingnya, daripada misalnya anjuran pelesir-piknik- ketempat wisata. Makan daging merupakan salah satu wujud ekspresi dari kenikmatan. Karena makan berkaitan dengan urusan perut, sementara semua yang dekat dengan urusan perut dianggap sebagai kenikmatan. Bahkan kenikmatan sekspun berangkat dari kebutuhan perut ini. Karena itulah level kebahagian orang kebanyakan, kenikmatan.
Dilevel berikutnya adalah kebahagiaan yang disebut sebagai 'Absolute Good'. Kebahagiaan adalah goal dan tujuan hidup. Maka dilevel ini melakukan kegiatan kebaikan, kejujuran, integritas, santun, menolong orang lain merupakan kebahagiaan. Semisalnya saja, kita akan merasakan sangat bahagia-dengan syarat ikhlas tak bersyarat-jika kita bisa membantu orang lain dan orang yang kita bantu merasa terbantu dan terimakasih. Dari level pertama yang hanya kenikmatan daging, Alfarabi menyarankan untuk meningkatkan kebahagiaan level pertama ke level ini ada caranya yaitu, semua yang bersifat keduniaan dan ke-perut-an, seharusnya ditingkatkan ke derajat ibadah dan bersifat ke-illahi-an. Maka menyembelih, memakan daging harus dilandasi ibadah, agar menjadi derajat kebaikan 'Absolute Good'.Â
Tetapi kebahagian dilevel pertama dan kedua sifatnya sangat personal dan individual, kebahagiaan itu tidak akan mampu menjelma menjadi kebahagiaan hakiki jika tidak menggapai kebahagiaan level berikutnya. Alfarabi mensyaratkan kebahagiaan personal juga harus didukung kebahagiaan setingkat komunitas/sekelompok masyarakat yang disebut "Al-Ijtima' al-Fadil", dan setingkat masyarakat saja tidak cukup untuk mencapai kebahagiaan, jika tidak meningkatkan ke level kebahagiaan kota yang disebut "AL-Madinah al-fadilah", dan yang terakhir diharapkan mampu menjadi kebahagian utama, karena kebahagiaan tingkat kota tidak akan sempurna jika tidak/belum terpenuhinya kebahagiaan tingkat negara sehingga menjadi negara yang utama yaitu disebut "Al-Ma'murah al-fadilah". Sebagai contoh gambaran, apakah kita akan bisa menikmati makan daging kurban di kota Allepo, Syiria, dengan merasa tenang dan nyaman, tanpa rasa was-was? Adakah rasa gembira dan suka cita jika negara tidak aman dan terjadi konflik perang. Meskipun bisa berdalih, bahwa keadaan konflik tetap bisa merayakan Idul Adha, tapi tetap saja itu bukanlah perayaan yang sempurna.
Dan menjadi negara utama, juga membutuhkan pribadi-pribadi yang berkualitas untuk menjadi pemimpin-pemimpinnya. Sebuah negara membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya sekedar berorientasi kekuasaan murni, yang hanya mengedepankan pragmatisme dan kepentingan pribadi dalam berpolitik, menghalalkan segala cara. Seorang pemimpin harus mempunyai landasan kebijaksanaan, pemimpin yang mengerti arti pentingnya kebahagian untuk warganya. Karena pemimpin ibarat kepala dalam analogi tubuh. Menurut farabi masyaraat itu bagaikan tubuh yang terdiri dari berbagai organ, yang setiap organ mempunyai peran masing-masing.
Demi menuju negara bahagia, tradisi dan penghayatan terhadap moment kurban jadi sangat penting dan relevan. Negara utama yang bahagia dalam konsep alfarabi, merupakan negara yang mengedepankan sikap saling tolong menolong, berbagi, saling asah-asih dan asuh, demi mencapai kedamaian dan ketentraman bersama. Karena pada titik akhir tujuan bernegara adalah kebahagiaan. Dalam pemikiran farabi negara ideal adalah negara yang warga negaranya saling bekerjasama untuk mencapai kebahagiaan. Senada dengan Alfarabi, Aristoteles berpendapat tentang politik yang menurutnya adalah jalan menuju kebahagiaan. Karena Alfarabi sendiri sangat terpengaruh oleh Aristoteles .
Politik seharusnya adalah sarana, bukan tujuan, maka kita harus bisa membedakan antara politikus dengan manusia politik. Politikus adalah karir dan profesi, maka mereka terkadang sangat pragmatis sekali, sementara yang satunya manusia politik adalah mereka yang sadar bahwa hidup bermasyarkat dan bernegara tujuannya adalah keadilan dan kemakmuran bersama.
Dari jiwa yang suci, yang semestinya sudah terasah dalam menghayati dan mengambil pelajaran  ditradisi berkorban, seorang pemimpin, seorang politikus, semua manusia, haruslah menjadi orang bermoral baik. Meskipun kadang kenyataanya banyak artis dan para politisi "berkorban" hanya untuk pencitraan. Dan jika seperti itu terjadi, mereka tidak dapat mencapai kebahagian dilevel Absolute good, mereka gagal dalam konsep penyucian jiwa, yang akhirnya terganngu pula tercapainya negara utama berbahagia. Sebenarnya agama memberi banyak instrumen agar pemeluknya menjadi baik, tapi memang yang terjadi realitas berbeda dengan idealitas.