Beberapa waktu lalu kita yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya mengalami hidup tanpa listrik akibat pemadaman dari PLN. Semua terkena imbasnya tak peduli kawasan kumuh ataupun perumahan elit, juga tak terkecuali fasilitas umum. Beruntung saya tidak merasakannya karna pada saat kejadian, saya sedang berada di Jogjakarta.Â
Sebagai manusia modern yang sangat bergantung pada listrik, kejadian ini benar-benar merepotkan dan membuat senewen terlebih bagi yang memiliki anak kecil. Komunikasi pun jadi terhambat. Jaringan gangguan, dan ponsel mati karena tidak ada aliran listrik untuk mencharge. Sungguh kejadian yang di luar dugaan.Â
Namun ada hikmah dibalik peristiwa ini, kita menjadi bisa merenungkan bahwa kita benar-benar sangat lemah, baru tidak ada listrik saja kita stress dan kalang kabut, lalu bagaimana dengan saudara kita yang tinggal di daerah terpencil di mana aliran listrik dan air terbatas tiap harinya. Bersyukur padamnya listrik tidak berlangsung berbulan-bulan seperti pada film Survival Family.
Survival Family adalah film asal Jepang yang bercerita tentang satu keluarga yang harus bertahan hidup di tengah lumpuhnya aliran listrik karena pemadaman secara global. Dikisahkan keluarga Suzuki yang terdiri dari suami istri dan putra putri mereka yang masih remaja. Mereka bertempat tinggal di apartment kota Tokyo.Â
Seperti masyarakat modern pada umumnya, mereka sangat bergantung pada kecanggihan teknologi. Dan pada saat awal-awal mereka mengalami mati listrik, semua dibuat susah. Mulai dari lift yang tidak berfungsi, sehingga mereka harus turun tangga dari lantai 10.Â
Sang ayah terpaksa telat bekerja karena kereta tidak bisa beroperasi, dan sesampainya di gedung perkantoran, para karyawan tidak bisa masuk karena pintu terkunci yang menggunakan sistem elektronik sehingga terpaksa harus memecahkan kaca. Internetpun mati. Sementara di lain tempat sang ibu harus berlomba dengan pembeli lainnya di supermarket untuk mendapatkan lilin, air, dan makanan.Â
Di kasir pun terjadi antrian panjang karena transaksi hanya bisa dilakukan dengan uang cash dan dengan cara manual. Kekacauan pun tak terelakan. ATM tidak berfungsi, sementara uang cash sangat-sangat diperlukan pada saat seperti ini. Orang-orang ricuh mengantre di bank untuk menarik uang yang jumlahnya dibatasi.Â
Berhari-hari listrik tak kunjung menyala. Kantor dan sekolah pun ditutup sampai waktu yang belum diketahui. Keluarga Suzuki pun memutuskan untuk pergi ke kampung kakek dengan harapan situasi di sana lebih baik karena di kota persediaan makanan dan air makin habis. Mereka berencana akan naik pesawat dengan mengendarai sepeda ke bandara.Â
Namun sesampainya di bandara ternyata pesawat tidak beroperasi. Terpaksa keluarga Suzuki harus hijrah ke kampung kakek dengan mengendarai sepeda yang jaraknya berkilo-kilo meter. Selama perjalanan yang penuh kesulitan banyak hikmah untuk mereka di mana keluarga yang awalnya sibuk dengan urusan dan gadget masing-masing kini harus berjuang bersama.
Adegan dalam film tidak dibuat terlalu berlebihan. Musibah yang ditampilkan terlihat sederhana yaitu padam listrik, bukan musibah besar seperti bencana alam, namun apa yang ditampilkan dalam film sungguh terlihat sangat natural dan real jika seandainya hal itu terjadi di dunia nyata. Di mana manusia modern kacau balau ketika kemudahan yang selama ini didapat hilang begitu saja.Â
Ketika persediaan makanan dan minuman habis, terlihat insting manusia sebagai makhluk hidup berusaha bagaimana caranya untuk tetap makan. Ketika situasi darurat pangan, jam tangan Rolex dan mobil Maserati tak sebanding dengan sekantong beras, begitulah orang kaya menyelamatkan keluarganya. Namun kemewahan menjadi tak berarti. Makanan akan dibarter dengan makanan atau air.Â