Untuk pertama kalinya saya merasakan suasana yang begitu berbeda di  tempat  saya berpijak dengan tempat asal kelahiran saya (Medan), sewaktu saya dan teman-teman berkunjung mengelilingi pulau Jawa awal 2012 lalu. Bukan hanya karena perbedaan dari bentuk-bentuk bangunan dan kehidupan masyarakat saja namun perbedaan itu begitu tampak dalam hal kreatifitas dan mental-mental para mahasiswa maupun para pelajar disana dalam mengekspresikan dan mempublikasikan bakat dan kreatifitas yang mereka miliki..
Mahasiswa dan pelajar-pelajar dipulau Jawa (ksususnya Jogja dan Surabaya) memiliki nilai kreatifitas yang tinggi dan mental anti gengsi untuk menunjukan kreatifitas yang mereka miliki. Mereka tidak malu-malu untuk menjajakan langsung barang-barang buatan tangan mereka yang unik-unik, kreatif dan inovatif  walaupun hanya bertempat di emperan-emperan taman atau diatas 'lapak' selebar 2 x 2 m, meski mereka telah menyandang status S-1 atau bahkan masih sedang menyandang satus mahasiswa.
Pemerintah daerah setempat juga memberikan dukungan positif  terhadap mereka dengan menyediakan tempat-tempat khusus seperti taman atau pasar kreatifitas bagi mereka untuk menampung ekspresi dan kreatifitas mereka agar tersalurkan dengan baik dan positif.
Di Jogja contohnya, ada  Taman Pintar  yang bersebelahan dengan Pasar Sentir, Bringharjo, yang isinya adalah produk-produk hasil kreativitas para mahasiswa dan pelajar mulai dari style dan  fashion seperti gelang-gelang rajut, baju sablon unik, mangkuk-mangkuk cantik sampai pada benda-benda aneh hasil inovasi teknologi mesin tepat guna.
Juga ada  Taman Kreatif (Surabaya) pada malam hari yang isinya tidak jauh beda dengan di Taman Pintar dan Pasar Sentir. Namun disana selain barang-barang buatan tangan juga ada pertunjukan kreatif pemuda-pemudi setempat mulai dari usia anak-anak hingga dewasa seperti pertunjukan mini band-band musik lokal, orang-orang bergitar diiringi vokalis bersuara merdu, melukis, skearboard, menulis nama di atas kaca dan banyak lagi kreativitas-kreatifitas mereka yang jarang kita temui di tempat lain. Nampaknya memang tak salah jika Jogja dijuluki kota 'pelajar' dan Surabaya dijuluki kota 'santri'.
Yang unik dari kedua tempat diatas adalah mayoritas penjualnya dan pelakon pertunjukan kreatif-kreatif tersebut merupakan kelompok-kelompok mahasiswa dari berbagai jurusan baik yang sudah tamat maupun yang masih berstatus mahasiswa aktif dan para pelajar anak sekolahan. Kalau pagi sampai siang mereka aktif  kuliah dan sekolah, maka sore ke malam mereka sibuk dengan membuat, menjajakan produk-produk hasil kreatifitas dan mempertunjukan kreatifitas yang mereka miliki.
Semua itu mereka lakukan bukan karena kesulitan ekonomi tapi juga sebagai bukti ingin menunjukan tingginya nilai kreatifitas yang mereka miliki. bahkan banyak juga mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Kalau  ditanya, dari mana ide-ide brilliant itu mereka dapat?
Pastinya  ide-ide brilliant itu mereka dapat dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan mereka fikirkan lalu mereka olah dan tuangkan dalam bentuk produk-produk dan karya-karya seni yang memiliki nilai kreatifitas  tinggi dan dapat dinikmati oleh semua orang. Bahkan dari segi mental mereka tidak gengsi untuk melakukan hal-hal positif yang 'berbau' kreatifitas.
Semua itu bisa mereka lakukan tentunya karena pendidikan yang mereka terima bukan hanya sebatas  pendidikan 10 jari. Pendidikan yang diberikan oleh guru dengan cara menyuruh siswa  meringkas materi pelajaran sebanyak-banyaknya namun sedikit sekali menjelaskan materi itu kepada siswa lalu ditampung oleh siswa dengan 10 jarinya dan cepat-cepat dituliskan oleh tangan kanannnya atau tangan kirinya  di buku catatan agar tidak lupa kemudian diulang-ulang dirumah dan disimpan rapi-rapi di dalam otak, atau bahkan hanya di buka ketika ujian semester telah tiba.
Pendidikan 10 jari cenderung mengandalkan catatan yang rapi dan berwarna-warni untuk menarik minat baca empunya buku, sedangkan empunya buku sendiri lebih banyak tidak mengerti apa yang dicatatnya dari pada yang dimengertinya. Alhasil, yang pintar adalah bukunya, bukan orangnya.
Pendidikan 10 jari tersebar di seluruh Indonesia denga tipe guru yang menerapkan model pembelajaran CBSA (Catat Buku Sampai Abis). Guru hanya mengajarkan materi yang ada di buku tanpa memperluas kajian pembahasan materi. Bahkan cenderung malas menjelaskan karena siswa sudah disuruh meringkas materi sampai tuntas. siswa memang dianjurkan untuk berfikir seluas-luasnya dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, tapi tidak dituntun dan tetap saja terkunci dalam konsep rasional dan irrasional juga pada konsep benar salah.